Jumat, 06 Juli 2018

Data Sirah Nabawiyah : Waktu Kelahiran Beliau


Mayoritas Ulama mengatakan bahwa Rasulullah lahir pada:
- Hari Senin
- Tanggal 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah, 50 hari setelah Peristiwa Gajah.

Adapun detail pembahasannya:

Tahun dan Bulan Kelahiran
Ada beberapa pendapat tentang tahun kelahiran beliau:
- Tahun Gajah
- 10 tahun setelah Tahun Gajah
- 23 tahun setelah Tahun Gajah
- 30 tahun setelah Tahun Gajah
- 40 tahun setelah Tahun Gajah.

Pendapat yang menyatakan bahwa beliau lahir tepat pada Tahun Gajah adalah pendapat yang kuat, berdasarkan hadits hasan li ghairih riwayat Hakim dan Ibnu Hisyam[1]. Mayoritas ulama mendukung pendapat ini. Bahkan sebagian ulama menyatakan ijmak (kesepakatan seluruh ulama) bahwa beliau lahir tepat pada tahun gajah, seperti Ibrahim bin Mundzir al Hizami dan Khalifah bin Khayyath. Seakan-akan pendapat yang menyatakan selain di Tahun Gajah tidak dianggap ada[2].

Ada yang mengatakan beliau lahir 1 bulan setelah peristiwa gajah, ada yang mengatakan 40 hari setelahnya, ada yang mengatakan 50 hari setelahnya. Kata Ibnu Katsir, pendapat terakhir ini yang paling terkenal[3].

Studi-studi yang dilakukan oleh para ilmuwan muslim maupun orientalis menunjukkan bahwa Tahun Gajah bertepatan dengan tahun 570 atau 571 M[4].

Adapun untuk bulan, beliau lahir pada bulan Rabiul Awwal menurut kesepakatan seluruh ulama[5]. Adapun pendapat yang mengatakan bulan Shafar, Ramadhan, ataupun yang lainnya itu tidak dianggap.

Hari dan Tanggal Kelahiran
Beliau lahir pada hari Senin, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini[6]. Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa beliau ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: “Di hari itu aku dilahirkan dan di hari itu aku menerima wahyu” (HSR Muslim).

Tidak benar kalau dikatakan beliau lahir hari Jumat tanggal 17 Rabiul Awwal, seperti yang dinukil oleh Ibnu Dihyah rahimahullah dari kitab I’lâm al Rawa bi A’lâm al Huda karya orang Syiah[7].

Adapun untuk tanggal, ada banyak perbedaan tentang tanggal berapa beliau lahir. Di antara pendapat yang ada adalah:
- Tanggal 2 Rabiul Awwal
- Tanggal 8 Rabiul Awwal
- Tanggal 10 Rabiul Awwal
- Tanggal 12 Rabiul Awwal[8].

Mayoritas ulama mengatakan bahwa beliau lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal[9]. Sedangkan Syaikh Albani membela pendapat yang mengatakan tanggal 8 Rabiul Awwal, dengan alasan riwayatnya adalah satu-satunya yang shahih sanadnya[10]. Tetapi perlu dicatat bahwa riwayat yang disebut ‘shahih sanadnya’ di situ bukan hadits nabi, tetapi hanya ucapan seorang tabiin bernama Muhammad bin Jubair bin Muth’im. Jadi ya sama saja haditsnya dhaif berjenis mursal, karena seorang tabiin langsung menyebut Rasulullah .


Bahan Bacaan:
- Al Maqdisi, Abu Muhammad ‘Abdulghani, Mukhtashar Sîrah an Nabi wa Sîrah Ashhâbih al ‘Asyrah, Dar al Imam al Barbahari, Kairo, cet. I, 1433 H / 2012 M
- al ‘Umari, Akram Dhiya`, Sîrah an Nabawiyyah ash Shahîhah, Maktabah al ‘Ulum wa al Hikam, Madinah Munawwarah, cet. VI, 1415 H / 1994 M.
- Albani, Shahîh as Sîrah an Nabawiyyah, al Maktabah al Islamiyyah, ‘Amman, cet. I, 1421 H
- An Nawawi, Tahdzîb as Sîrah an Nabawiyyah, Dar Ashhab al Hadits, cet. I, 1427 H / 2006 M
- Thaha, Abu Asma` Muhammad bin, al Aghshân an Nadiyyah fi Syarh al Khulâshah al Bahiyyah, Dar Subul as Salam, Fayyum (Mesir), cet. II, 1433 H / 2012 M
- Ibnu Katsir, Sîrah an Nabawiyyah, Dar al Ma’rifah, Beirut, 1396 H / 1971 M


[1] Bahkan Syaikh Albani menshahihkannya (al Aghshân Nadiyyah karya Abu Asma` Muhammad bin Thaha hal. 24).
[2] Mukhtashar Sîrah an Nabi wa Sîrah Ashhâbih al ‘Asyrah karya Abu Muhammad ‘Abdulghani al Maqdisi (dan catatan pen-tahkik-nya) hal. 28-30
  As Sîrah an Nabawiyyah ash Shahîhah karya Akram Dhiya` al ‘Umari hal. 96-97.
[3] As Sîrah an Nabawiyyah karya Ibnu Katsir 1/203.
[4] As Sîrah an Nabawiyyah ash Shahîhah karya Akram Dhiya` al ‘Umari hal. 97.
[5] Catatan Khalid asy Syayi’ pada Mukhtashar Sîrah an Nabi wa Sîrah Ashhâbih al ‘Asyrah karya Abu Muhammad ‘Abdulghani al Maqdisi hal. 30.
[6] As Sîrah an Nabawiyyah karya Ibnu Katsir 1/198-199.
[7] As Sîrah an Nabawiyyah karya Ibnu Katsir 1/199.
[8] As Sîrah an Nabawiyyah karya Ibnu Katsir 1/199.
[9] As Sîrah an Nabawiyyah karya Ibnu Katsir 1/199.
[10] Shahîh as Sîrah an Nabawiyah karya Albani hal. 13.

Hukum Taklifi

Dalam tulisan sebelumnya, telah kami sebutkan bahwa definisi hukum menurut ulama Ushul Fikih adalah: Khithab (pernyataan) Allah yang terkait dengan perbuatan seorang mukallaf. Adapun menurut ulama Fikih, hukum adalah: Pengaruh khithab Allah..dst.

Dalam tulisan sebelumnya juga telah sampaikan bahwa hukum ada dua macam yaitu:
- Hukum Taklifi (beban: perintah atau larangan)
- Hukum Wadh’i (peletakan / status).

Nah, pada tulisan kali ini saya akan menyampaikan tentang Hukum Taklifi.

Definisi Hukum Taklifi
Hukm Taklîfi (الْحُكْمُ التَّكْلِيْفِيُّ) adalah hukum yang
:
- menuntut untuk mengerjakan sesuatu (wajib dan sunnah),
- menuntut meninggalkan sesuatu (haram dan makruh),
-atau membebaskan antara mengerjakan atau meninggalkannya (mubah)[1].

Disebut sebagai Hukum Taklifi (Pembebanan), karena di situ ada beban untuk manusia[2].


Jenis-Jenis Hukum Taklifi
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum taklifi ada 5 macam, yang mereka berbeda cara menyebutkannya:

1. Kelompok Pertama menyebutnya:
            a. Wujûb[3]      (secara harfiah: kewajiban)
            b. Nadb            (penganjuran)
            c. Ibâhah          (pembolehan)
            d. Tahrîm          (pengharangan)
            e. Karâhah       (pemakruhan)

2. Kelompok Kedua menyebutnya
            a. Wâjib           (melakukan = berpahala, meninggalkan = berdosa)
            b. Mandûb       (melakukan = berpahala, meninggalkan = tidak berdosa)
            c. Mubâh         (melakukan / meninggalkan = tidak berpahala/dosa)
            d. Harâm         (melakukan = berdosa, meninggalkan = berpahala)
            e. Makrûh.       (melakukan = tidak berdosa, meninggalkan = berpahala)

Sebenarnya cara kelompok pertamalah yang lebih tepat, karena itulah hukum yang sebenarnya. Sementara wajib, mandub, dan sebagainya sebenarnya adalah “perbuatan yang dihukumi” dan bukan “hukum” itu sendiri[4].

Meski demikian, di serial pembahasan ini saya akan menggunakan cara kelompok kedua (wajib, mandub, mubah, haram, dan makruh) karena lebih mudah dipahami teman-teman pelajar dari Indonesia. Lagi pula, perbedaan antar kedua kelompok di atas bukan suatu hal yang fatal, istilahnya: khilâf lafzhi (beda lafal)[5].


Kenapa Hukum Taklifi Hanya Ada 5 Jenis?
Hukum Taklifi hanya ada 5 jenis karena:
1. HukumTaklifi hanya berputar pada perintah, larangan, dan pembebasan
2. Perintah ada yang merupakan perintah yang harus diikuti yaitu ‘wajib’, dan ada yang tidak harus diikuti yaitu ‘mandub’
3. Larangan pun ada larangan yang harus diikuti yaitu ‘haram’, dan ada yang tidak harus diikutiyaitu ‘makruh’
4. Pembebasan hanya ada: ‘mubah’[6].


Kenapa Mubah Juga Termasuk Hukum Taklifi?
Kata ‘taklifi’ artinya padanya terdapat beban / berhubungan dengan beban. Kenapa mubah yang merupakan pembebasan (bukan beban perintah atau larangan) juga dimasukkan ke bagian Hukum Taklifi?

- Mubah dimasukkan ke bagian Hukum Taklifi dalam rangka generalisir (taghlîb). Generalisiradalah: memasukkan individu luar ke dalam kelompok yang sudah ada, karena ‘tanggung’ jika harus dibuatkan kelompok tersendiri

- Bisa juga dikatakan: karena mubah hanya berkaitan dengan mukallaf (orang yang kena beban hukum taklifi). Sehingga harus masuk ke kelompok  Hukum Taklifi, bukan ke kelompok Hukum Wadl’i[7].


Hikmah Pembagian Hukum Taklifi Jadi 5 (Menurut Jumhur)
HikmahPertama: Menghindarkan kesulitan dari mukallaf
Bayangkan andai hanya ada dua hukumya itu wajib dan haram. Bagaimana andai semua jenis shalat dari shalat dhuhur hingga shalat thuhur (shalat sunnah setelah berwudu) wajib? Bagaimana andai puasa Ramadhan hingga puasa Dawud (puasa dua hari sekali) wajib semua?

Hikmah Kedua: Ujian bagi mukallaf
Melakukan yang wajib saja dan meninggalkan yang haram saja itu dekat dengan jiwa yang lemah, yang hanya takut dihukum tanpa ambisi meraih pahala.
Adapun jika seorang hamba itu kuat iman dan paham bahwa Syariat Islam datang untuk kebaikan dunia dan akhiratnya, tentu dia takkanrela hanya melakukan yang wajib tanpa ditambah dengan yang sunnah. Tentu dia takkan rela hanya meninggalkan yang haram tanpa juga menghindari yang makruh[8].

Hikmah pembagian Hukum Taklifi ala Jumhur Ulama jadi 5 jenis ini juga berlaku untuk pembagian Hukum Taklifi ala Hanafiyyah (madzhab hanafi).


Pembagian HukumTaklifi Menurut Hanafiyyah
Menurut para ulama Madzhab Hanafi, Hukum Taklifi dibagi menjadi 7, yaitu:

1. Kalau mengikuti ‘sebutan ala kelompok pertama’:
            a. Fardl
            b. Îjâb
            c. Nadb
            d. Ibâhah
            e. Tahrîm
            f. Karâhah Tahrîmiyyah
            g. Karâhah Tanzîhiyyah

2. Kalau mengikuti ‘sebutan ala kelompok kedua’:
            a. Fardl                        (‘wajib’ yang dalilnya qath’i / pasti)
            b. Wâjib                       (‘wajib’ yang dalilnya zhanni / belum pasti)
            c. Mandûb                   (sama artinya dengan versi Jumhur)
            d. Mubâh                     (sama artinya dengan versi Jumhur)
            e. Harâm                     (‘haram’ yang dalilnya qath’i / pasti)
            f. MakrûhTahrîm        (‘haram’ yang dalilnya zhanni / belum pasti)
            g. MakrûhTanzîh         (‘makruh’ menurut Jumhur).


Tentu saja serial pembahasan ini akan membahas jenis-jenis Hukum Taklifi ala Jumhur Ulama dengan metode sebutan: wajib, mandub, mubah, haram dan makruh (atau mubah dibahas terakhir, lihat sikon).


Bahan Bacaan:
- Abu Zahrah, Muhammad, Ushûl al Fiqh, Dar al Fikr al ‘Arabi
- Al Asyqar, Muhammad Sulaiman, al Wâdlih  fi Ushûl al Fiqh, Dar as Salam, Kairo, cet. II, 1425 H / 2004 M
- An Namlah, ‘Abdulkarim, al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, cet. I, 1420 H / 1999 M
- Zaidan, ‘Abdulkarim, al Wajîz fi Ushûl al Fiqh, Muassasah Qurthubah, cet. VI, 1396 H / 1976 M.


[1]Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan hal 26.
[2]Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan hal 26.
[3]Ada yang menyebutnya Îjâb (pewajiban), seperti Muhammad Sulaiman al Asyqar dalam al Wâdlih  fi Ushûl  a l Fiqh hal. 25 dan Wahbah az Zuhaili dalam Ushûl al Fiqh al Islâmi  1/45.
[4]Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali  an Namlah 1/137.
[5]Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali  an Namlah 1/137.
[6]Ushûl al Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah hal. 28.
[7]Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan hal 26.
[8]Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an Namlah 1/141.