Dalam pembahasan sebelumnya Anda telah
mempelajari definisi Kaidah Fikih, yaitu: “Hukum universal yang berlaku untuk
semua / sebagian besar obyek…dst”. Anda juga telah melihat beberapa contoh
kaidah fikih, semisal “hukum asal segala sesuatu adalah boleh”.
Salah satu cara memperjelas gambaran sebuah
istilah (Kaidah Fikih) adalah dengan menjelaskan perbedaannya dengan
istilah-istilah sejenis. Maka sekarang adalah saatnya saya sampaikan perbedaan Kaidah Fikih dengan
Dhabith Fikih dan Kaidah Ushul, supaya makin jelas bagi Anda bagaimana gambaran
Kaidah Fikih sebenarnya.
Dalam bahasan ini akan saya sampaikan
perbedaan antara Kaidah Fikih dan Dhabith Fikih.
Definisi Dhabith Secara Bahasa
Dlâbith (الضَّابِطُ)
berasal dari الضَّبْطُ yang berarti
kebersamaan (tidak berpisah), penahanan,
pembatasan, kekuatan, dan penjagaan. Jadi dlâbith secara bahasa artinya
sesuatu yang bersama (tidak berpisah), menahan, membatasi, kuat, dan menjaga.
Bentuk jamakdlâbith adalah Dlawâbith (الضّوَابِطُ)[1].
Sebagian
Ulama Menyamakan Dhabith Fikih dengan Kaidah Fikih
Sebagian ulama
menganggap bahwa Dhabith Fikih adalah Kaidah Fikih. Bagi mereka keduanya adalah
dua istilah untuk satu definisi, yaitu “hukum universal yang berlaku untuk
semua / sebagian besar obyek…dst”.
Di antara mereka
adalah Ibnul Hammam dalam at Tahrîr fi Ushûl al Fiqh, al Fayyumi
dalam al Mishbâh al Munîr, dan ‘Abdulghani an Nablusi dalam Kasyf
al Khathâyir ‘an al Asybâh wa an Nazhâir[2].
Sebagian
Ulama Lain Membedakan Dlabith Fikih dengan Kaidah Fikih
Sebagian ulama lain
menyatakan bahwa Dhabith Fikih berbeda dengan Kaidah FIkih. Di antara mereka
adalah: Tajuddin as Subki dalam al Asybâh wa an Nazhâir, az Zarkasyi
dalam Tasynîf al Masâmi’, as Suyuthi dalam al Asybâh wa an Nazhâir,
serta Ibnu Najm dalam al Asybâh wa an Nazhâir (terkadang ada dua ulama
atau lebih mengarang kitab dengan judul-judul yang sama). Pendapat kedua ini
juga diikuti oleh umumnya ulama kontemporer[3] seperti
‘Abdul’aziz ‘Azzam dalam al Qawâ’id al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Shalih bin
Ghanim as Sadlan dalamal Qawâ’id al Fiqhiyyah wa Ma Tafarra’ ‘anha, Dr
Muhammad Bakr Ismail dalam al Qawâ’id al Fiqhiyyah bayn al Ashâlah wa at
Tawjîh, dan ‘Abdulkarim Zaidan dalam al Wajîz fi al Qawâ’id al Fiqhiyyah.
Pendapat yang
membedakan Kaidah dan Dhabith Fikih ini mendefinisikan Dhabith Fikih (dlâbith
fiqhi / الضَّابِطُ الْفِقْهِيُّ) -di
antaranya- sebagai:
مَا انْتَظَمَ صُوَرًا مُتَشَابِهَةً فِيْ
مَوْضُوْعٍ وَاحِدٍ مِنْ أَبْوَابِ الْفِقْهِ، يَكْشِفُ عَنْ حُكْمِ الْجُزْئِيَّاتِ
الَّتِيْ تَدْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهِ
“Sesuatu (rumus) yang mencakup obyek-obyek yang mirip, dalam
sebuah tema bab fikih, yang mengungkap hukum obyek-obyek yang masuk dalam tema
tersebut”[4].
Secara sederhana,
mungkin bisa katakan bahwa Dlabith Fikih adalah: kaidah yang hanya berlaku untuk satu bab fikih.
Pendapat kedua yang
membedakan Kaidah Fikih dengan Dhabith Fikih inilah yang akan kita pakai
selanjutnya, ketika bicara tentang contoh dan perbedaan Dhabith Fikih dengan
Kaidah Fikih.
Beberapa
Contoh Dhabith Fikih
1. أَيُّمَا
إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“setiap kulit yang disamak berarti telah suci” (HSR Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu
Majah)[5]
2. الْمَاءُ
طَهُوْرٌ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ لَوْنُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ رِيْحُهُ... “Air itu suci mensucikan selama warna, rasa, dan baunya tidak
berubah…dst”
3. الْأَصْلُ
أَنَّ صَلَاةَ الْمُقْتَدِيْ مُتَعَلِّقَةٌ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ “Asal (sah tidaknya) shalat makmum itu berkaitan dengan
shalatnya imam” (dhabith madzhab hanafi)
Perbedaan
Kaidah Fikih dengan Dhabith Fikih[6]
1. Kaidah
Fikih mencakup banyak bab fikih, sedangkan Dhabith Fikih hanya
terkait satu bab fikih
Sehingga Kaidah Fikih
lebih luas cakupannya dibandingkan Dhabith Fikih. Kaidah Fikih “segala perkara
tergantung tujuannya” berlaku untuk bab Thaharah, Shalat, Jual beli, Jihad, dan
sebagainya.
Sementara contoh
Dhabith Fikih nomor 1 dan 2 di atas hanya terkait bab Thaharah, sedangkan nomor
3 hanya terkait bab Shalat.
Ini adalah perbedaan
paling mencolok antara Kaidah Fikih dengan Dhabith Fikih.
2. Kaidah
Fikih lebih banyak yang disepakati dibandingkan Dhabith Fikih
Kaidah Fikih biasanya
disepakati oleh seluruh atau sebagian besar madzhab fikih, seperti kaidah
“segala perkara tergantung tujuannya”. Tidak mungkin ada ulama yang menyelisihi
Kaidah Fikih ini.
Sebaliknya, perbedaan
para ulama dalam hal Dhabith Fikih adalah hal biasa. Misalnya dalam contoh
Dhabith nomor 3 di atas, Madzhab Hanafi punya dhabith “asal (sah tidaknya)
shalat makmum terkait dengan shalat imam”. Artinya jika shalat imam batal
maka shalat makmum pun juga batal. Sementara dhabith Imam Syafii: صَلَاةُ
الْمُقْتَدِيْ غَيْرُ مُتَعَلِّقَةٍ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ “(sah tidaknya) shalat makmum tidak terkait dengan shalat imam”.
3. Kaidah
Fikih lebih banyak punya perkecualian dibandingkan Dhabith Fikih
Karena cakupan Kaidah
Fikih lebih luas, maka tidak aneh kalau sering ada perkecualiannya. Misalnya
dalam kaidah “segala perkara tergantung niatnya”, ada perkecualian: kalau kaki
Anda kena najis, lalu tidak sengaja kena guyur hujan dan najisnya hilang, Anda
tidak perlu ‘secara formalitas’ membersihkan kaki Anda.
Adapun Dhabith Fikih
lebih jarang terkena perkecualian karena obyeknya sangat sedikit, hanya satu
bab fikih.
Itulah perbedaan antara Kaidah Fikih
dengan Dhabith Fikih.
Dalam pembahasan selanjutnya kita akan membahas perbedaan antara Kaidah Fikih dengan Kaidah
Ushul.
Bahan
Bacaan:
- Al Mufassal fi al
Qawa’id al Fiqhiyyah karya Ya’qub bin ‘Abdulwahhab al Bahusain, cet. II
tahun 1432 H (2011 M), Dar at Tadmuriyyah, Riyadh
- Al Mumti’ fi al
Qawâ’id al Fiqhiyyah karya Muslim bin Muhammad ad Dusari, cet. I tahun 1428
H (2007 M), Dar Zidni, Riyadh
- Al Qawâ’id al
Fiqhiyyah karya ‘Abdul’aziz ‘Azzam, cet. tahun 1426 H (2005 M), Dar al
Hadits, Kairo
- Al Qawâ’id al Fiqhiyyah
bayn al Ashâlah wa at Tawjîh karya Muhammad Bakr Ismail, Dar al Manar,
Kairo.
Al Qawâ’id al
Fiqhiyyah kara ‘Abdul’aziz
‘Azzam hal. 28.
[5]Sebagian Kaidah maupun Dhabith adalah kutipan
apa adanya dari lafal sebuah hadits.
Al Qawâ’id al
Fiqhiyyah bayn al Ashâlah wa at Tawjîh karya Muhammad Bakr Ismail hal. 8-10
Al Mumti’ fi
al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya
Muslim bin Muhammad ad Dusari hal.18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar