Senin, 12 Februari 2018

3 Perbedaan Kaidah Fikih dengan Dhabith Fikih


Dalam pembahasan sebelumnya Anda telah mempelajari definisi Kaidah Fikih, yaitu: “Hukum universal yang berlaku untuk semua / sebagian besar obyek…dst”. Anda juga telah melihat beberapa contoh kaidah fikih, semisal “hukum asal segala sesuatu adalah boleh”.
Salah satu cara memperjelas gambaran sebuah istilah (Kaidah Fikih) adalah dengan menjelaskan perbedaannya dengan istilah-istilah sejenis. Maka sekarang adalah saatnya saya sampaikan perbedaan Kaidah Fikih dengan Dhabith Fikih dan Kaidah Ushul, supaya makin jelas bagi Anda bagaimana gambaran Kaidah Fikih sebenarnya.

Dalam bahasan ini akan saya sampaikan perbedaan antara Kaidah Fikih dan Dhabith Fikih.

­­Definisi Dhabith Secara Bahasa
Dlâbith (الضَّابِطُ) berasal dari الضَّبْطُ yang berarti
kebersamaan (tidak berpisah), penahanan, pembatasan, kekuatan, dan penjagaan. Jadi dlâbith secara bahasa artinya sesuatu yang bersama (tidak berpisah), menahan, membatasi, kuat, dan menjaga. Bentuk jamakdlâbith adalah Dlawâbith (الضّوَابِطُ)[1].

Sebagian Ulama Menyamakan Dhabith Fikih dengan Kaidah Fikih
Sebagian ulama menganggap bahwa Dhabith Fikih adalah Kaidah Fikih. Bagi mereka keduanya adalah dua istilah untuk satu definisi, yaitu “hukum universal yang berlaku untuk semua / sebagian besar obyek…dst”.
Di antara mereka adalah Ibnul Hammam dalam at Tahrîr fi Ushûl al Fiqh, al Fayyumi dalam al Mishbâh al Munîr, dan ‘Abdulghani an Nablusi dalam Kasyf al Khathâyir ‘an al Asybâh wa an Nazhâir[2].

Sebagian Ulama Lain Membedakan Dlabith Fikih dengan Kaidah Fikih
Sebagian ulama lain menyatakan bahwa Dhabith Fikih berbeda dengan Kaidah FIkih. Di antara mereka adalah: Tajuddin as Subki dalam al Asybâh wa an Nazhâir, az Zarkasyi dalam Tasynîf al Masâmi’, as Suyuthi dalam al Asybâh wa an Nazhâir, serta Ibnu Najm dalam al Asybâh wa an Nazhâir (terkadang ada dua ulama atau lebih mengarang kitab dengan judul-judul yang sama). Pendapat kedua ini juga diikuti oleh umumnya ulama kontemporer[3] seperti ‘Abdul’aziz ‘Azzam dalam al Qawâ’id al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Shalih bin Ghanim as Sadlan dalamal Qawâ’id al Fiqhiyyah wa Ma Tafarra’ ‘anha, Dr Muhammad Bakr Ismail dalam al Qawâ’id al Fiqhiyyah bayn al Ashâlah wa at Tawjîh, dan ‘Abdulkarim Zaidan dalam al Wajîz fi al Qawâ’id al Fiqhiyyah.

Pendapat yang membedakan Kaidah dan Dhabith Fikih ini mendefinisikan Dhabith Fikih (dlâbith fiqhi / الضَّابِطُ الْفِقْهِيُّ) -di antaranya- sebagai:
مَا انْتَظَمَ صُوَرًا مُتَشَابِهَةً فِيْ مَوْضُوْعٍ وَاحِدٍ مِنْ أَبْوَابِ الْفِقْهِ، يَكْشِفُ عَنْ حُكْمِ الْجُزْئِيَّاتِ الَّتِيْ تَدْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهِ
“Sesuatu (rumus) yang mencakup obyek-obyek yang mirip, dalam sebuah tema bab fikih, yang mengungkap hukum obyek-obyek yang masuk dalam tema tersebut”[4].
Secara sederhana, mungkin bisa katakan bahwa Dlabith Fikih adalah: kaidah yang hanya berlaku untuk satu bab fikih.

Pendapat kedua yang membedakan Kaidah Fikih dengan Dhabith Fikih inilah yang akan kita pakai selanjutnya, ketika bicara tentang contoh dan perbedaan Dhabith Fikih dengan Kaidah Fikih.

Beberapa Contoh Dhabith Fikih
1. أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ “setiap kulit yang disamak berarti telah suci” (HSR Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)[5]
2. الْمَاءُ طَهُوْرٌ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ لَوْنُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ رِيْحُهُ... “Air itu suci mensucikan selama warna, rasa, dan baunya tidak berubah…dst”
3. الْأَصْلُ أَنَّ صَلَاةَ الْمُقْتَدِيْ مُتَعَلِّقَةٌ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ “Asal (sah tidaknya) shalat makmum itu berkaitan dengan shalatnya imam” (dhabith madzhab hanafi)

Perbedaan Kaidah Fikih dengan Dhabith Fikih[6]
1. Kaidah Fikih mencakup banyak bab fikih, sedangkan Dhabith Fikih hanya terkait satu bab fikih
Sehingga Kaidah Fikih lebih luas cakupannya dibandingkan Dhabith Fikih. Kaidah Fikih “segala perkara tergantung tujuannya” berlaku untuk bab Thaharah, Shalat, Jual beli, Jihad, dan sebagainya.
Sementara contoh Dhabith Fikih nomor 1 dan 2 di atas hanya terkait bab Thaharah, sedangkan nomor 3 hanya terkait bab Shalat.
Ini adalah perbedaan paling mencolok antara Kaidah Fikih dengan Dhabith Fikih.

2. Kaidah Fikih lebih banyak yang disepakati dibandingkan Dhabith Fikih
Kaidah Fikih biasanya disepakati oleh seluruh atau sebagian besar madzhab fikih, seperti kaidah “segala perkara tergantung tujuannya”. Tidak mungkin ada ulama yang menyelisihi Kaidah Fikih ini.
Sebaliknya, perbedaan para ulama dalam hal Dhabith Fikih adalah hal biasa. Misalnya dalam contoh Dhabith nomor 3 di atas, Madzhab Hanafi punya dhabith “asal (sah tidaknya) shalat makmum terkait dengan shalat imam”. Artinya jika shalat imam batal maka shalat makmum pun juga batal. Sementara dhabith Imam Syafii: صَلَاةُ الْمُقْتَدِيْ غَيْرُ مُتَعَلِّقَةٍ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ “(sah tidaknya) shalat makmum tidak terkait dengan shalat imam”.

3. Kaidah Fikih lebih banyak punya perkecualian dibandingkan Dhabith Fikih
Karena cakupan Kaidah Fikih lebih luas, maka tidak aneh kalau sering ada perkecualiannya. Misalnya dalam kaidah “segala perkara tergantung niatnya”, ada perkecualian: kalau kaki Anda kena najis, lalu tidak sengaja kena guyur hujan dan najisnya hilang, Anda tidak perlu ‘secara formalitas’ membersihkan kaki Anda.
Adapun Dhabith Fikih lebih jarang terkena perkecualian karena obyeknya sangat sedikit, hanya satu bab fikih.

Itulah perbedaan antara Kaidah Fikih dengan Dhabith Fikih. Dalam pembahasan selanjutnya kita akan membahas perbedaan antara Kaidah Fikih dengan Kaidah Ushul.


Bahan Bacaan:
- Al Mufassal fi al Qawa’id al Fiqhiyyah karya Ya’qub bin ‘Abdulwahhab al Bahusain, cet. II tahun 1432 H (2011 M), Dar at Tadmuriyyah, Riyadh
- Al Mumti’ fi al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya Muslim bin Muhammad ad Dusari, cet. I tahun 1428 H (2007 M), Dar Zidni, Riyadh
- Al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya ‘Abdul’aziz ‘Azzam, cet. tahun 1426 H (2005 M), Dar al Hadits, Kairo
- Al Qawâ’id al Fiqhiyyah bayn al Ashâlah wa at Tawjîh karya Muhammad Bakr Ismail, Dar al Manar, Kairo.


[1]Al Mufassal fi al Qawa’id al Fiqhiyyah karya Ya’qub bin ‘Abdulwahhab al Bahusain hal. 56
Al Qawâ’id al Fiqhiyyah kara ‘Abdul’aziz ‘Azzam hal. 28.
[2]Al Mufassal fi al Qawa’id al Fiqhiyyah karya Ya’qub bin ‘Abdulwahhab al Bahusain hal. 56-57.
[3]Al Mufassal fi al Qawa’id al Fiqhiyyah karya Ya’qub bin ‘Abdulwahhab al Bahusain hal. 57-58.
[4]Al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya ‘Abdul’aziz ‘Azzam hal. 28.
[5]Sebagian Kaidah maupun Dhabith adalah kutipan apa adanya dari lafal sebuah hadits.
[6]Al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya ‘Abdul’aziz ‘Azzam hal. 29-30
Al Qawâ’id al Fiqhiyyah bayn al Ashâlah wa at Tawjîh karya Muhammad Bakr Ismail hal. 8-10
Al Mumti’ fi al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya Muslim bin Muhammad ad Dusari hal.18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar