Pada dasarnya, sebuah lafal akan menunjukkan seluruh maknanya dengan utuh. Misalnya iman. Jika disebutkan lafal iman, maka artinya adalah keyakinan, ucapan, dan perbuatan.
Tetapi jika ada lafal lain -yang masih terkait- juga disebutkan, maka:
- Lafal itu hanya membawa sebagian maknanya
- Sisa maknanya dibawakan oleh lafal lain yang masih terkait dengannya itu.
Tetapi jika ada lafal lain -yang masih terkait- juga disebutkan, maka:
- Lafal itu hanya membawa sebagian maknanya
- Sisa maknanya dibawakan oleh lafal lain yang masih terkait dengannya itu.
Jika tidak ada lafal lain di suatu pembicaraan yang terkait dengannya, maka iman berarti: keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan.
Tetapi jika amal shalih juga di sebutkan, maka iman dalam ayat tersebut hanya bermakna: keyakinan dalam hati. Sedangkan ucapan dengan lisan dan amalan dengan anggota badan diwakili oleh amal shalih. Seperti pada firman Allah:
إِنِّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih” (QS al Baqarah: 177).
Contoh Kedua: Kebajikan (al Birr) dan Ketakwaan (at Taqwa)
Dalam surat al Baqarah, Allah mengisyaratkan bahwa kebajikan itu adalah ketakwaan. Allah berfirman:
وَلكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى
“Tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa” (QS al Baqarah: 189).
Akan tetapi dalam surat al Maidah, Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS al Maidah: 2).
Konsekuensi lafal “kebajikan dan ketakwaan” adalah bahwa yang dimaksud dengan kebajikan itu berbeda dengan ketakwaan, dalam ayat kedua surat al Maidah tentunya.
Perbedaannya apa?
1. Kebajikan dalam ayat kedua surat al Maidah berarti: melakukan perintah Allah
Karena bentuk khas kebajikan adalah ‘melakukan yang baik’. Misalnya kita kenal istilah birrul walidain (berbakti / berbuat kebajikan kepada orang tua). Makna yang langsung kita pahami dari istilah itu adalah melakukan kebaikan-kebaikan kepada kedua orang tua.
2. Ketakwaan dalam ayat kedua surat al Maidah berarti: meninggalkan larangan Allah
Taqwa (ketakwaan) berasal dari kata وَقَى (waqa) yang artinya menjaga. Tentu yang namanya ‘menjaga’ itu konotasinya adalah menghindari keburukan. Misalnya dalam firman Allah:
قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS at-Tahrim: 6).
Contoh Ketiga: Shalat dan Shalat Wustha (Ashar)
Dalam surat al Mukminun disebutkan:
الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خَاشِعُوْنَ
“(Yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya” (QS al Mukminun: 2). Maksudnya semua shalat.
Tetapi dalam surat al-Baqarah Allah berfirman:
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى
“Peliharalah semua shalat dan shalat wustha” (QS al Baqarah: 238).
Karena lafal “semua shalat” disandingkan dengan “shalat wustha”, maka yang dimaksud dengan “semua shalat” adalah seluruh shalat selain shalat wustha (ashar).
Hikmah
Mungkin ada yang bertanya (misalnya):
1. Jika iman sudah mencakup amal shalih, untuk apa (baca: apa hikmah) amal shalih disebutkan lagi?
2. Jika kebajikan sudah mewakili ketakwaan, dan begitu pula sebaliknya, untuk apa keduanya disebut?
3. Jika shalat wusta sudah termasuk ‘shalat’, untuk apa shalat wustha disebutkan lagi?
Maka jawabannya adalah:
1. Hikmah penyebutan amal sholeh: untuk menegaskan bahwa percaya saja tidak cukup, harus ada action
2. Hikmah penyebutan kebajikan sekaligus ketakwaan: untuk menegaskan bahwa tolong menolong itu jangan pada satu sisi saja, harus komprehensif
3. Hikmah penyebutan shalat wustha: menerangkan bahwa shalat Ashar adalah shalat terbaik. Dalam Tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa wustha artinya: terbaik (paling utama).
Itulah tiga contoh (beserta hikmahnya) lafal yang hanya membawakan sebagian maknanya bila lafal lain yang terkait dengannya juga disebutkan, tetapi lafal itu akan membawa seluruh maknanya bila lafal lain itu tidak disebutkan.
Selain itu juga masih ada contoh-contoh lainnya seperti:
- Ibadah dengan isti’anah (QS al Fatihah: 5), dan ibadah dengan tawakkal (QS Hud: 123)
- Fakir dengan miskin (QS at Taubah: 60)
- Dosa (itsm) dan permusuhan (‘udwân) (QS al Maidah: 2).
Bahan Bacaan:
- Al-Qawâ’id al-Hisân li Tafsîr al-Qur`ân karya ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
- Qawâ’id at-Tafsîr Jam’a wa Dirâsah karya Khalid bin ‘Utsman as-Sabt
- Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm karya Ibnu Katsir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar