Ada dua macam ayat al-Qur`an:
1. Ibtidâi: Ayat-ayat yang turun begitu saja, tanpa ada sababun nuzul. Sebagian besar ayat al-Qur`an bersifat ibtidai
2. Sababi: Ayat-ayat yang turun setelah adanya sababun nuzul.
Sababun nuzul (سَبَبُ النُّزُوْلِ) adalah: peristiwa / ucapan / pertanyaan yang kemudian ada ayat al-Quran yang turun terkait dengannya. Bentuk jamak dari Sababun Nuzul adalah: Asbabun Nuzul (أَسْبَابُ النُّزُوْلِ).
Hal-hal lain yang terkait dengan asbabun nuzul bisa Anda baca di buku-buku ‘Ulumul Quran. Di sini saya hanya fokus pada pembahasan: “yang dijadikan pegangan adalah lafal ayat yang umum ataukah sebab turunnya yang khusus”.
Pertanyaannya: Jika ada suatu peristiwa lalu ada ayat al-Quran turun berkenaan dengannya, hukum ayat itu bersifat umum atau hanya terbatas pada sebab turunnya saja?
Jenis-jenis Ayat Sababi (Turun dengan Sababun Nuzul)
Sebelum menjawab “lafal yang umum” atau “sebab yang khusus”, sebaiknya kita pahami dulu tiga jenis ayat umum yang turun dengan sebab khusus:
1. Ayat sababi dengan indikator yang menunjukkan bahwa ayat itu umum. Seluruh ulama sepakat bahwa ayat semacam ini hukumnya berlaku secara umum. Contoh:
- Firman Allah: “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…” (QS al-Maidah: 37)
- Menurut pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kasus seorang wanita dari Bani Makhzum yang mencuri, maka penyebutan ‘pencuri laki-laki’ adalah indikator bahwa ayat ini berlaku umum untuk siapapun yang mencuri
- Sebaliknya, bila kita berpegang pada pendapat yang mengatakan bahwa sebab turun ayat ini adalah ‘seorang laki-laki yang mencuri rida`nya Shafwan bin Umayyah’, maka penyebutan ‘pencuri perempuan’ adalah indikator bahwa ayat ini berlaku umum
2. Ayat sababi dengan indikator yang menunjukkan bahwa ayat itu khusus untuk obyek tertentu. Seluruh ulama sepakat bahwa ayat seperti ini hanya berlaku khusus untuk obyek / individu tertentu. Contoh:
- Ketika ada perempuan ingin menghadiahkan dirinya untuk Nabi ﷺ, Allah menurunkan ayat ke-50 dari surat al-Maidah
- Dalam ayat itu, pada pembicaraan menghadiahkan diri untuk Nabi, Allah membolehkan hal ini dan menjelaskan “sebagai kekhushusan bagimu, tidak untuk semua orang mukmin”
- Catatan: sifat umum dalam ayat ini diperoleh karena firman Allah untuk beliau -secara umum- berlaku juga untuk seluruh umat beliau, bukan karena ada lafal yang umum
3. Ayat sababi yang tidak memiliki indikator bahwa ia berlaku umum atau khusus. Pada bagian inilah para ulama berbeda pendapat:
a. Sebagian besar mengatakan: yang jadi pegangan adalah lafal yang umum
b. Sebagian ulama lain mengatakan: yang jadi pegangan adalah sebab turun yang khusus.
Seluruh pembahasan di bawah ini hanya akan membicarakan jenis ketiga ini.
Pendapat Pertama: Yang Dijadikan Pegangan Adalah Lafal yang Umum
Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar ulama, bahkan bisa dikatakan hampir semua ulama. Pendapat ini mengatakan bahwa: kalau ada ayat umum yang turun dengan sebab khusus, maka ayat itu berlaku umum untuk sababun nuzulnya maupun selain sababun nuzulnya.
1. Oleh Rasulullah sendiri dihukumi ‘berlaku umum’:
a. Ada seorang laki laki yang mencium perempuan (bukan mahramnya), kemudian dia mendatangi Nabi ﷺ dan mengabarkan perihal itu. Kemudian Allah menurunkan: “Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah)” (QS Hud: 114). Orang itu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu hanya untukku?”. Beliau menjawab: “Untuk semua umatku” (HSR Bukhari dan Muslim)
b. Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang beralasan untuk tidak shalat malam. Di situ diterangkan bahwa Rasulullah membacakan ayat “tetapi manusia adalah memang yang paling banyak membantah” (QS al-Kahfi: 54) (HSR Bukhari dan Muslim). Padahal sababun nuzul ayat itu adalah orang-orang kafir yang berdebat soal al-Quran
2. Kesepakatan (ijmak) seluruh sahabat. Mereka menggeneralisir ayat-ayat yang turun dengan sebab khusus kepada individu / obyek lain yang tidak termasuk sababun nuzul
3. Secara bahasa: jika salah seorang istri meminta cerai, kemudian suaminya menanggapi dengan: “Semua istriku saya ceraikan”, maka status cerai berlaku untuk semua istrinya. Begitu pula ayat al-Quran, karena yang menjadi patokan -secara bahasa- adalah lafal yang merupakan tanggapan/ reaksi.
Pendapat Kedua: Yang Dijadikan Pegangan Adalah Sebab yang Khusus
Pendapat ini adalah pendapat sebagian kecil ulama, yang nampaknya di masa sekarang sudah tidak ada lagi yang setuju dengan pendapat ini. Pendapat ini adalah:
- Pendapat Imam Malik dalam sebuah riwayat. Artinya: murid beliau yang lain justru mengatakan beliau berpendapat bahwa yang jadi pegangan adalah lafal umum. Bahkan menurut Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi (dalam Mudzakkirah Ushûl al-Fiqh), justru yang benar adalah bahwa Imam Malik berpendapat seperti pendapat mayoritas ulama (pendapat pertama)
- Katanya ini adalah pendapat (حُكِيَ عَنْ) Imam Syafi’i dan Imam Abu Tsaur. Tentu sebutan ‘katanya’ adalah penyebutan yang meragukan, sangat mungkin keduanya sebenarnya tidak berpendapat begini
- Pendapat sebagian ulama madzhab syafi’i seperti: al-Muzani, ad-Daqqaq, dan al-Qaffal.
Di antara alasan pendapat kedua:
1. Kalau yang jadi pegangan bukan sebab yang khusus, sababun nuzulnya mungkin malah bisa dikecualikan dari keumuman (ditakhshish dari) ayat tersebut.
Jawaban: Pendapat pertama pun sepakat bahwa sababun nuzul secara qath’i (pasti) termasuk yang dimaksudkan dalam ayat tersebut, dan tidak dapat ditakhsish. Tapi bukan berarti ayat itu hanya berlaku untuk sababun nuzulnya
2. Upaya rawi menceritakan sababun nuzul dan turunnya ayat baru setelah sababun nuzul menunjukkan bahwa: hukum ayat itu hanya terbatas pada sababun nuzul.
Jawaban: kedua hal itu tidak menunjukkan bahwa hukum dalam ayat tersebut hanya berlaku untuk sababun nuzulnya. Tetapi menunjukkan hikmah-hikmah adanya ayat al-Quran yang sifatnya sababi, di antaranya:
a. Membantu memahami ayat. Jika kita mengerti sababun nuzul ayat “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” (QS al-Baqarah: 143), kita akan paham bahwa makna iman di situ adalah shalat
b. Menerangkan keutamaan atau keburukan sababun nuzul. Seperti sababun nuzul surat al-Lahab yang menerangkn kejhatan Abu Lahab
c. Dan lain-lain, silahkan dibaca di pembahasan faidah mengenal asbabun nuzul di buku-buku ‘Ulumul Quran.
Ringkasnya: pendapat yang kuat adalah pendapat pertama (mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa: yang dijadikan pegangan adalah lafal yang umum, bukan sebab yang khusus.
Jenis Perbedaan Pendapat
Sebelum saya berbicara tentang jenis perbedaan pendapat, ada baiknya saya utarakan konsekuensi kedua pendapat di atas:
- Pendapat pertama: menghukumi obyek / individu selain sababun nuzul dengan ayat, karena memang lafal ayat tersebut bersifat umum
- Pendapat kedua: menghukumi obyek / individu selain sababun nuzul dengan dikiaskan pada sababun nuzul.
Dalam kasus sebab turun ayat “Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan” (QS Hud: 114), jika ada orang lain yang melakukan maksiat lalu melakukan ketaatan:
- Pendapat pertama mengatakan: dosanya dihapus karena ayat itu bersifat umum
- Pendapat kedua mengatakan: dosanya dihapus karena orang lain itu dikiaskan pada sababun nuzul ayat ke-114 dari QS Hud.
Atas dasar pemaparan di atas, sebagian orang mungkin mengatakan bahwa jenis perbedaan pendapat dalam masalah ini hanyalah khilâf lafzhi (beda kalimat, tetapi substansinya sama). Ini karena memang tidak nampak akan ada perbedaan dalam menghukumi obyek / individu di luar sababun nuzul, baik dengan mengikuti pendapat pertama atau kedua.
Tetapi Dr. ‘Abdul Karim bin ‘Ali an-Namlah (dalam al-Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muqâran) mengatakan bahwa yang tepat adalah bahwa khilaf dalam soal ini adalah khilâf ma’nawi (beda kalimat sekaligus beda substansi). Di antaranya karena hukum yang didasarkan pada kias (sesuai pendapat kedua) tentu tidak sekuat hukum yang didasarkan pada nash (sesuai pendapat pertama). Walau sama-sama mengatakan halal, atau haram, atau dosanya terhapus, atau yang lainnya.
Bahan Bacaan:
- Syarh Ushûl fi at-Tafsîr karya Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
- Mudzakkirah Ushûl al-Fiqh ‘ala Rawdlah an-Nâzhir karya Muhammad Amin asy-Syinqithi
- Al-Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muqâran karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an-Namlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar