Jumat, 05 April 2019

Syubhat : Kosa Kata Asing (Non Arab) dalam Al Quran



BENTUK SYUBHAT: Kenapa dalam al Quran dikatakan “dengan bahasa Arab yang jelas” (QS asy Syu’ara`: 195) ? Padahal di dalam al Quran ada kata-kata yang berasal dari bahasa Persia,  Asyuria, Suryani, Ibrani, Yunani, Mesir (Qibti), Habsyah, dan lainnya. Itu menunjukkan bahwa klaim “dengan bahasa Arab yang jelas” salah.


BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT

Kamis, 13 Desember 2018

Kenapa Allah Menyebut DiriNya ‘Kami’?


Nomor                  : 606
Judul Asli        : Makna Penggunaan Kata Ganti ‘Kami’ (نَحْنُ) di Dalam al Quran

Pertanyaan:
Mengapa al Quran menggunakan lafal ‘Kami’ dalam banyak ayat? Banyak orang non muslim yang mengatakan bahwa itu mengisyaratkan tentang Nabi Isa?


Jawaban:
“Di antara gaya bahasa Arab adalah seseorang menyebut dirinya dengan: (1) kata ganti ‘kami’ untuk mengagungkan (diri sendiri), (2) kata ganti untuk orang pertama seperti ‘saya’, dan (3) kata ganti orang ketiga seperti ‘dia’.
Ketiga gaya bahasa itu terdapat dalam al Quran, Allah berfirman kepada bangsa Arab dengan bahasa mereka (kemudian firman -al Quran juga untuk semua manusia, pent.)” (Fatâwa al Lajnah ad Dâimah 4/143).

Senin, 10 Desember 2018

Pembagian Wajib IV : Berdasarkan Orang yang Menunaikannya


Pada kesempatan sebelumnya Anda telah membaca bahwa Wajib berdasarkan dzatnya dibagi menjadi dua, yaitu:
- Wajib Mu’ayyan (tertentu / tidak ada pilihan lain)
- Wajib Mukhayyar (tidak tertentu / ada pilihan lain).

Nah pada kesempatan kali ini saya akan hadirkan untuk Anda pembagian Wajib berdasarkan orang yang melakukannya (berdasarkan orang yang diwajibkan):
A. Wajib ‘Aini (Fardhu ‘Ain / Kewajiban Personal)
B. Wajib Kifai (Fardhu Kifayah / Kewajiban Kolektif).



A. Wajib ‘Aini (Fardhu ‘Ain / Kewajiban Personal)
Wâjib ‘Ayni (الْوَاجِبُ الْعَيْنِيُّ) adalah kewajiban yang yang dibebankan kepada setiap orang (person, individu), tidak bisa diwakili oleh orang lain. Misalnya shalat (5 waktu), zakat, dan haji[1].

Kamis, 06 Desember 2018

Pembagian Wajib I : Berdasarkan Waktunya


Dalam tulisan sebelumnya, kita telah mempelajari lafal-lafal yang menunjukkan hukum wajib.
Pada tulisan kali ini kita akan membahas tentang pembagian wajib.

Wajib dibagi dengan 4 model pembagian:
Pertama: Berdasarkan waktunya:
            a. Ghayr Muaqqat / Muthlaq (tidak terikat waktu tertentu)
            b. Muaqqat / Muqayyad (terikat waktu tertentu)
Kedua: Berdasarkan takarannya:
            a. Muhaddad (ada ukuran jelasnya dari syariat)
            b. Ghayr Muhaddad (tidak ada ukuran jelasnya dari syariat)
Ketiga: Berdasarkan dzatnya:
            a. Mu’ayyan (tertentu / harus ‘itu’)
            b. Mukhayyar (memilih salah satu kewajiban)
Keempat: Berdasarkan orang yang diwajibkan:
            a. ‘Ayni (fardhu ‘ain)
            b. Kifâ`i (fardhu kifayah).


Pertama: Pembagian Wajib Berdasarkan Waktunya
Berdasarkan ketentuan waktu untuk menunaikannya, wajib dibagi menjadi dua:

            A. Ghayr Muaqqat / Muthlaq (tidak terikat waktu tertentu)
            B. Muaqqat / Muqayyad (terikat waktu tertentu).


A. Ghayr Muaqqat / Muthlaq (tidak terikat waktu tertentu)
Wâjib Muthlaq (الْوَاجِبُ الْمُطْلَقُ) / Wâjib Ghayr Muaqqat (الْوَاجِبُ غَيْرُ الْمُؤَقَّتِ) adalah: kewajiban yang tidak terikat dengan waktu tertentu, boleh dilaksanakan kapan pun. Walaupun tentu saja sebaiknya segera dilaksanakan karena kita tidak tahu sampai kapan umur kita di dunia[1].

Akan tetapi jika misalnya seseorang merasa yakin bahwa hidupnya tak lama lagi misalnya karena penyakit, wajib muthlaq ini harus segera dilaksanakan[2]. Jangan sampai dia meninggal dalam keadaan belum menunaikan kewajiban tersebut.

Contoh Wajib Muthlaq adalah: membayar kaffarat sumpah, mengqadha` puasa Ramadhan, serta haji (boleh di tahun dia mulai mampu menunaikan haji atau tahun-tahun depannya)[3].


B. Muaqqat / Muqayyad (terikat waktu tertentu)
Wâjib Muqayyad (الْوَاجِبُ الْمُقَيَّدُ) / Wâjib Muaqqat (الْوَاجِبُ الْمُؤَقَّتُ) adalah: kewajiban yang terikat dengan waktu tertentu, seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.
Wajib Muqayyad ini tidak boleh dilakukan sebelum waktu yang ditentukan, dan tidak boleh -kecuali ada uzur- dilakukan setelah habis waktunya[4].

Orang yang melaksanakan wajib muaqqat setelah habis batas waktunya -tanpa alasan yang bisa dibenarkan- tetap berdosa. Karena di sini ada dua yang harus dipenuhi:
- Melaksanakan kewajiban
- Melaksanakan pada waktunya.
Kalau dia mengerjakannya setelah habis waktunya -tanpa alasan yang bisa dibenarkan- berarti kena satu dosa akibat ‘tidak melaksanakan pada waktunya’[5].


Wajib Muaqqat (Muqayyad) Ini Dibagi Menjadi Tiga:
1. Wâjib Muwassa’ (الْوَاجِبُ الْمُوَسَّعُ) = yang diperluas (waktunya)
Wajib Muwassa’ adalah kewajiban yang waktunya ditentukan oleh syariat, yang di waktu tersebut juga mungkin untuk menunaikan ibadah lain yang sejenis[6]. Para ulama Madzhab Hanafi (secara umum) menyebutnya Zharf (الظَّرْفُ)[7], meskipun sebagian dari mereka ada yang mengingkari adanya Wajib Muwassa’ atau Zharf ini[8].

Contoh Wajib Muwassa’ adalah shalat dhuhur (waktunya lebih dari dua jam). Waktu shalat dhuhur ini bisa dipakai untuk menunaikan shalat dhuhur maupun shalat-shalat lain[9].
Shalat-shalat lain seperti shalat tahiyyatul masjid, shalat qabliyyah dan ba’diyyah zhuhur inilah yang dimaksud dengan ‘ibadah lain yang sejenis’, masih sama-sama shalat.

2. Wâjib Mudhayyaq (الْواَجِبُ الْمُضَيَّقُ) = yang dipersempit (waktunya)
Wajib Mudhayyaq adalah kewajiban yang waktunya ditentukan oleh syariat, yang di waktu tersebut tidak mungkin untuk menunaikan ibadah lain yang sejenis[10]. Para ulama Madzhab Hanafi menyebutnya: mi’yâr (الْمِعْيَارُ)[11].

Contohnya adalah puasa Ramadhan: di bulan Ramadhan, tidak mungkin kita menunaikan puasa selain puasa Ramadhan[12]. Inilah makna: di waktu tersebut tidak mungkin untuk menunaikan ibadah lain yang sejenis.

3. Wâjib Dzu Syibhayn (الْوَاجِبُ ذُو الشِّبْهَيْنِ) = memiliki dua kemiripan
Wajib Dzu Sibhayn ini adalah kewajiban yang waktunya tidak dapat dipakai untuk ibadah lain yang sejenis (Mudhayyaq, hanya bisa sekali haji dalam satu tahun), tetapi di sisi lain tidak semua waktu yang disediakan akan dipakai untuk menunaikannya (Muwassa’)[13].

Misalnya (dan mungkin satu-satunya contoh) adalah haji. Di satu sisi dia mudhayyaq karena ditunaikan di bulan tertentu (bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah) sehingga hanya bisa setahun sekali. Tetapi di sisi yang lain dia juga muwassa’ karena tiga bulan tersebut (Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah) tidak terpakai semuanya untuk menyelesaikan manasik haji[14].


Perbedaan Antara Wajib Wajib Muwassa’ dan Wajib Mudhayyaq:
1. Semua ulama sepakat bahwa Wajib Muwassa’ tidak sah tanpa niat yang spesifik. Adapun Wajib Mudhayyaq (seperti puasa Ramadhan), mayoritas ulama Madzhab Hanafi mengatakan “tidak wajib meniatkan untuk ibadah yang wajib”. Sehingga jika orang puasa sunnah di bulan Ramadhan -menurut mayoritas ulama Madzhab Hanafi- otomatis dihitung sebagai puasa Ramadhan. Sedangkan jumhur ulama mengatakan: tetap harus meniatkan sebagai ibadah yang wajib

2. Waktu menunaikan Wajib Muwassa’ juga bisa dipakai untuk menunaikan ibadah lain yang sejenis. Sedangkan waktu Wajib Mudhayyaq hanya bisa dipakai untuk menunaikan Wajib Mudhayyaq tersebut, tidak bisa menunaikan ibadah yang sejenis dengannya[15].


Wajib Muwassa’ Bisa Menjadi Wajib Mudhayyaq
Wajib Muwassa’ akan menjadi Wajib Mudhayyaq bila[16]:
- Waktu yang ditentukan hampir habis. Seperti shalat ashar jelang matahari terbenam
- Yakin bahwa kesempatannya tidak akan panjang lagi. Seperti wanita yang biasanya haid jam 1 siang tiap bulannya, berarti shalat dhuhur di hari-hari yang kira-kira akan haid menjadi wajib mudhayyaq bila hampir jam 1 siang.


Ada`, I’adah, dan Qadha`
Ada tiga jenis pelaksanaan Wajib Muaqqat (yang Muwassa’ dan Mudhayyaq):
1. Adâ` (الْأَدَاءُ): Wajib Muaqqat yang ditunaikan (dengan pada waktunya, lengkap dengan syarat dan rukunnya[17].

Syaikh Muhammad Khudhari Bek rahimahullah menggunakan redaksi ‘mulai ditunaikan’ sebagai ganti ‘ditunaikan’, dan menambahkan bahwa Madzhab Syafii mensyaratkan selesai satu rakaat supaya shalat disebut ada`[18]. Syaikh Wahbah az Zuhaili juga menganggap bahwa makna ‘ditunaikan’ adalah ‘mulai ditunaikan’, terlepas nanti selesai masih pada waktu yang ditetapkan atau selesai setelah waktunya habis[19] seperti orang yang mulai shalat ashar beberapa saat sebelum magrib.

Contoh ada` adalah: menunaikan shalat zhuhur pada waktunya dengan sempurna[20].

2. I’âdah (الْإِعَادَةُ): wajib muaqqat yang ditunaikan dengan pada waktunya, tapi tidak sempurna, kemudian diulangi dengan sempurna masih pada waktu yang ditetapkan[21].

Contoh I’adah adalah shalat wajib sendirian, lalu menunaikannya lagi (berjamaah)[22].

Jika seseorang telah mengerjakan kewajiban yang sah tapi belum sempurna, kemudian dia mengulangi untuk kedua kalinya, maka itu disebut I’adah.

Tapi jika dia mengerjakannya dengan tidak sah (umpama shalat wajib kurang satu rakaat) lalu dia mengulangi untuk kedua kalinya, maka itu disebut Ada`. Karena yang pertama tidak sah dan dianggap tidak ada[23].

3. Qadhâ` (الْقَضَاءُ): wajib muaqqat yang ditunaikan setelah waktu yang ditetapkan[24].

Seluruh ulama sepakat wajib meng-qadha` kewajiban yang luput belum dikerjakan sampai habis waktunya[25].

Dan sebagai catatan, wajib muaqqat memang berkaitan dengan Ada`, I’adah, dan Qadha`. Tetapi ketiganya juga berkaitan dengan sebagian ibadah yang sunnah semisal meng-qadha` shalat qabliyyah subuh setelah shalat subuh. Tentu saja meng-qadha` yang sunnah hukumnya pun juga sunnah.


Bahan Bacaan:
- Al Khudhari Bek, Muhammad, Ushûl al Fiqh, al Maktabah at Tijariyyah al Kubra, cet. VI, 1389 H / 1969 M
- An Namlah, ‘Abdulkarim, al Jâmi’ li Masâil Ushûl al Fiqh, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, cet. I, 1420 H / 2000 M
- As Sullami, ‘Iyadh bin Nami, Ushul al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh, Dar at Tadmuriyyah, Riyadh, cet. I, 1426 H / 2005 M
- Az Zuhaili, Wahbah, Ushûl al Fiqh al Islâmi, Dar al Fikr, Damaskus, cet. I, 1406 H / 1986 M
- Khallaf, ‘Abdulwahhab, ‘Ilm Ushûl al Fiqh, Maktabah ad Da’wah al Islamiyyah, cet. VIII
- Zaidan, ‘Abdulkarim, al Wajîz fi Ushûl al Fiqh, Muassasah Qurthubah, cet. VI, 1396 H / 1976 M.


[1] Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan hal. 33.
[2] Al Jâmi’ li Masâil Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an Namlah hal. 28.
[3] Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan hal. 33.
[4] Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan hal. 33.
[5] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/49.
[6] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/50.
[7] Ushûl al Fiqh karya Muhammad Khudhari al Bek hal 35.
[8] Ushûl al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh karya ‘Iyadh bin Nami as Sullami hal. 33.
[9] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/50.
[10] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/50.
[11] Ushûl al Fiqh karya Muhammad al Khudhari Bek hal 37.
[12] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/50.
[13] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/50.
[14] Ushûl al Fiqh karya Muhammad al Khudhari Bek hal 39.
[15] Ushûl al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh karya ‘Iyadh bin Nami as Sullami hal. 36.
[16] Al Jâmi’ li Masâil Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an Namlah hal. 31
   Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/58.
[17] ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf hal. 107.
[18] Ushûl al Fiqh karya Muhammad al Khudhari Bek hal 39.
[19] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/57.
[20] ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf hal. 107.
[21] ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf hal. 107.
[22] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/57.
[23] ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf hal. 107.
[24] ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf hal. 107.
[25] Ushûl al Fiqh karya Muhammad al Khudhari Bek hal 39.

Selasa, 04 Desember 2018

Pembagian Wajib III : Berdasarkan Dzatnya


Pada tulisan sebelumnya, Anda telah membaca pembagian wajib berdasarkan dzatnya:
- Wajib Muhaddad (ditentukan takarannya)
- Wajib Ghayr Muhaddad (tidak ditentukan takarannya).

Pada kesempatan kali ini Anda akan membaca pembagian wajib berdasarkan dzatnya:
A. Wajib Mu’ayyan (tertentu)
B. Wajib Mukhayyar (tidak tertentu).


A. Wajib Mu’ayyan
Mu’ayyan (الْمُعَيَّنُ) secara bahasa artinya ‘dikhususkan’
. Wâjib Mu’ayyan (الْوَاجِبُ الْمُعَيَّنُ) -secara istilah- artinya kewajiban yang diminta syariat secara khusus, tidak ada kebebasan memilih antara mengerjakan kewajiban tersebut atau lainnya[1].

Contoh Wajib Mu’ayyan antara lain adalah: shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, melunasi hutang, dan menepati janji[2].

Hukum Wajib Mu’ayyan
Seseorang belum lepas dari beban Wajib Mukhayyar sebelum benar-benar mengerjakan secara spesifik (tidak ada opsi mengerjakan lainnya)[3]. Misalnya jalau wajib mukhayyar-nya berupa shalat ashar berarti harus menunaikan shalat ashar, tidak boleh memilih atau mengganti dengan shalat atau bentuk ibadah lainnya.



B. Wajib Mukhayyar
Mukhayyar (الْمُخَيَّرُ) secara bahasa artinya yang diserahkan[4]. Secara istilah, Wâjib Mukhayyar (الْوَاجِبُ الْمُخَيَّرُ) atau Wâjib Mubham (الْوَاجِبُ الْمُبْهَمُ) adalah kewajiban yang tidak diminta syariat secara khusus, kita dipersilahkan memilih antara mengerjakan kewajiban tersebut atau lainnya[5].

Di antara contoh Wajib Mukhayyar:
- Kaffarat sumpah: memberi makan 10 orang miskin, atau pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang budak
- Memilih pemimpin, jika ada beberapa orang yang memenuhi syarat[6].


Hukum Wajib Mukhayyar
Dalam Wajib Mukhayyar, seorang hamba hanya harus menunaikan salah satu pilihan kewajiban untuk bebas dari beban[7].


Wajib Mukhayyar dibagi dua:
1. Yang Boleh (Mubah) Menunaikan Semua Pilihan
Meskipun yang wajib adalah menunaikan salah satu pilihan, ada sebagian kasus dimana kita boleh (mubah) melakukan semua sekaligus.

Misalnya menutup aurat dalam shalat cukup dengan satu pakaian. Jika ada dua pakaian berarti kita harus memilih salah satu untuk memenuhi kewajiban. Jika ternyata kita menggunakan kedua pakaian sekaligus, hukumnya mubah

2. Yang Disunnahkan Menunaikan Semua Pilihan
Misalnya kaffarat sumpah. Meskipun yang diwajibkan hanya memilih salah satu, tetapi tidak masalah dan bahkan bagus -untuk menambah pahala- jika Anda mengerjakan semuanya (memberi makan 10 orang miskin, memberi pakaian 10 orang miskin, dan membebaskan seorang budak).

3. Yang Boleh Menunaikan Satu Pilihan Saja
Misalnya memilih pemimpin. Meski umpamanya ada beberapa orang yang memenuhi syarat jadi pemimpin, kita hanya boleh memilih satu saja untuk jadi pemimpin[8].


Bahan Bacaan:
- An Namlah, ‘Abdulkarim, al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, cet. I, 1420 H / 1999 M, jilid I hal.155-156
- Az Zuhaili, Wahbah, Ushûl al Fiqh al Islâmi, Dar al Fikr, Damaskus, cet. I, 1406 H / 1986 M.


[1] Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Ali bin ‘Abdulkarim an Namlah 1/157.
[2] Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Ali bin ‘Abdulkarim an Namlah 1/157.
[3] Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Ali bin ‘Abdulkarim an Namlah 1/157.
[4] Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Ali bin ‘Abdulkarim an Namlah 1/157.
[5] Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Ali bin ‘Abdulkarim an Namlah 1/157.
[6] Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Ali bin ‘Abdulkarim an Namlah 1/157
  Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/65.
[7] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/65.
[8] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/65
  Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Ali bin ‘Abdulkarim an Namlah 1/175-176.