Dalam tulisan sebelumnya, kita telah mempelajari lafal-lafal yang menunjukkan hukum wajib.
Pada
tulisan kali ini kita akan membahas tentang pembagian wajib.
Wajib
dibagi dengan 4 model pembagian:
Pertama:
Berdasarkan waktunya:
a. Ghayr Muaqqat / Muthlaq
(tidak terikat waktu tertentu)
b. Muaqqat / Muqayyad
(terikat waktu tertentu)
Kedua:
Berdasarkan takarannya:
a. Muhaddad (ada
ukuran jelasnya dari syariat)
b. Ghayr Muhaddad
(tidak ada ukuran jelasnya dari syariat)
Ketiga:
Berdasarkan dzatnya:
a. Mu’ayyan (tertentu / harus
‘itu’)
b. Mukhayyar (memilih salah
satu kewajiban)
Keempat:
Berdasarkan orang yang diwajibkan:
a. ‘Ayni (fardhu ‘ain)
b. Kifâ`i (fardhu kifayah).
Pertama:
Pembagian Wajib Berdasarkan Waktunya
Berdasarkan
ketentuan waktu untuk menunaikannya, wajib dibagi menjadi dua:
A. Ghayr Muaqqat / Muthlaq
(tidak terikat waktu tertentu)
B. Muaqqat / Muqayyad
(terikat waktu tertentu).
A. Ghayr
Muaqqat / Muthlaq (tidak terikat waktu tertentu)
Wâjib
Muthlaq (الْوَاجِبُ الْمُطْلَقُ) / Wâjib Ghayr Muaqqat (الْوَاجِبُ غَيْرُ الْمُؤَقَّتِ) adalah: kewajiban yang tidak
terikat dengan waktu tertentu, boleh dilaksanakan kapan pun. Walaupun tentu
saja sebaiknya segera dilaksanakan karena kita tidak tahu sampai kapan umur
kita di dunia[1].
Akan
tetapi jika misalnya seseorang merasa yakin bahwa hidupnya tak lama lagi misalnya karena
penyakit, wajib muthlaq ini harus segera dilaksanakan[2].
Jangan sampai dia meninggal dalam keadaan belum menunaikan kewajiban tersebut.
Contoh Wajib
Muthlaq adalah: membayar kaffarat sumpah, mengqadha` puasa Ramadhan, serta haji
(boleh di tahun dia mulai mampu menunaikan haji atau tahun-tahun depannya)[3].
B. Muaqqat
/ Muqayyad (terikat waktu tertentu)
Wâjib
Muqayyad (الْوَاجِبُ الْمُقَيَّدُ) / Wâjib Muaqqat (الْوَاجِبُ الْمُؤَقَّتُ) adalah: kewajiban yang
terikat dengan waktu tertentu, seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.
Wajib
Muqayyad ini tidak boleh dilakukan sebelum waktu yang ditentukan, dan tidak
boleh -kecuali ada uzur- dilakukan setelah habis waktunya[4].
Orang yang melaksanakan wajib
muaqqat setelah habis batas waktunya -tanpa alasan yang bisa dibenarkan- tetap
berdosa. Karena di sini ada dua yang harus dipenuhi:
- Melaksanakan kewajiban
- Melaksanakan pada waktunya.
Kalau dia mengerjakannya
setelah habis waktunya -tanpa alasan yang bisa dibenarkan- berarti kena satu
dosa akibat ‘tidak melaksanakan pada waktunya’[5].
Wajib Muaqqat (Muqayyad) Ini Dibagi
Menjadi Tiga:
1. Wâjib Muwassa’ (الْوَاجِبُ الْمُوَسَّعُ) = yang diperluas (waktunya)
Wajib Muwassa’ adalah kewajiban
yang waktunya ditentukan oleh syariat, yang di waktu tersebut juga mungkin
untuk menunaikan ibadah lain yang sejenis[6].
Para ulama Madzhab Hanafi (secara umum) menyebutnya Zharf (الظَّرْفُ)[7],
meskipun sebagian dari mereka ada yang mengingkari adanya Wajib Muwassa’ atau Zharf
ini[8].
Contoh Wajib Muwassa’ adalah
shalat dhuhur (waktunya lebih dari dua jam). Waktu shalat dhuhur ini bisa
dipakai untuk menunaikan shalat dhuhur maupun shalat-shalat lain[9].
Shalat-shalat lain seperti
shalat tahiyyatul masjid, shalat qabliyyah dan ba’diyyah zhuhur inilah yang
dimaksud dengan ‘ibadah lain yang sejenis’, masih sama-sama shalat.
2. Wâjib Mudhayyaq (الْواَجِبُ
الْمُضَيَّقُ) = yang
dipersempit (waktunya)
Wajib Mudhayyaq adalah
kewajiban yang waktunya ditentukan oleh syariat, yang di waktu tersebut tidak
mungkin untuk menunaikan ibadah lain yang sejenis[10].
Para ulama Madzhab Hanafi menyebutnya: mi’yâr (الْمِعْيَارُ)[11].
Contohnya adalah puasa Ramadhan:
di bulan Ramadhan, tidak mungkin kita menunaikan puasa selain puasa Ramadhan[12].
Inilah makna: di waktu tersebut tidak mungkin untuk menunaikan ibadah lain yang
sejenis.
3. Wâjib Dzu Syibhayn (الْوَاجِبُ
ذُو الشِّبْهَيْنِ) = memiliki
dua kemiripan
Wajib
Dzu Sibhayn ini adalah kewajiban yang waktunya tidak dapat dipakai untuk ibadah
lain yang sejenis (Mudhayyaq, hanya bisa sekali haji dalam satu tahun), tetapi
di sisi lain tidak semua waktu yang disediakan akan dipakai untuk menunaikannya
(Muwassa’)[13].
Misalnya
(dan mungkin satu-satunya contoh) adalah haji. Di satu sisi dia mudhayyaq
karena ditunaikan di bulan tertentu (bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah)
sehingga hanya bisa setahun sekali. Tetapi di sisi yang lain dia juga muwassa’
karena tiga bulan tersebut (Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah) tidak terpakai
semuanya untuk menyelesaikan manasik haji[14].
Perbedaan
Antara Wajib Wajib Muwassa’ dan Wajib Mudhayyaq:
1.
Semua ulama sepakat bahwa Wajib Muwassa’ tidak sah tanpa niat yang spesifik. Adapun Wajib
Mudhayyaq (seperti puasa Ramadhan), mayoritas ulama Madzhab Hanafi mengatakan
“tidak wajib meniatkan untuk ibadah yang wajib”. Sehingga jika orang puasa
sunnah di bulan Ramadhan -menurut mayoritas ulama Madzhab Hanafi- otomatis
dihitung sebagai puasa Ramadhan. Sedangkan jumhur ulama mengatakan: tetap harus
meniatkan sebagai ibadah yang wajib
2. Waktu
menunaikan Wajib Muwassa’ juga bisa dipakai untuk menunaikan ibadah lain yang
sejenis. Sedangkan waktu Wajib Mudhayyaq hanya bisa dipakai untuk menunaikan Wajib
Mudhayyaq tersebut, tidak bisa menunaikan ibadah yang sejenis dengannya[15].
Wajib
Muwassa’ Bisa Menjadi Wajib Mudhayyaq
Wajib Muwassa’
akan menjadi Wajib Mudhayyaq bila[16]:
- Waktu
yang ditentukan hampir habis. Seperti shalat ashar jelang matahari terbenam
- Yakin
bahwa kesempatannya tidak akan panjang lagi. Seperti wanita yang biasanya haid
jam 1 siang tiap bulannya, berarti shalat dhuhur di hari-hari yang kira-kira
akan haid menjadi wajib mudhayyaq bila hampir jam 1 siang.
Ada`,
I’adah, dan Qadha`
Ada
tiga jenis pelaksanaan Wajib Muaqqat (yang Muwassa’ dan Mudhayyaq):
1. Adâ`
(الْأَدَاءُ): Wajib Muaqqat yang ditunaikan (dengan pada waktunya, lengkap dengan
syarat dan rukunnya[17].
Syaikh
Muhammad Khudhari Bek rahimahullah menggunakan redaksi ‘mulai ditunaikan’
sebagai ganti ‘ditunaikan’, dan menambahkan bahwa Madzhab Syafii mensyaratkan
selesai satu rakaat supaya shalat disebut ada`[18].
Syaikh Wahbah az Zuhaili juga menganggap bahwa makna ‘ditunaikan’ adalah ‘mulai
ditunaikan’, terlepas nanti selesai masih pada waktu yang ditetapkan atau
selesai setelah waktunya habis[19]
seperti orang yang mulai shalat ashar beberapa saat sebelum magrib.
Contoh
ada` adalah: menunaikan shalat zhuhur pada waktunya dengan sempurna[20].
2. I’âdah
(الْإِعَادَةُ): wajib muaqqat yang ditunaikan dengan pada waktunya, tapi tidak
sempurna, kemudian diulangi dengan sempurna masih pada waktu yang ditetapkan[21].
Contoh
I’adah adalah shalat wajib sendirian, lalu menunaikannya lagi (berjamaah)[22].
Jika
seseorang telah mengerjakan kewajiban yang sah tapi belum sempurna, kemudian
dia mengulangi untuk kedua kalinya, maka itu disebut I’adah.
Tapi
jika dia mengerjakannya dengan tidak sah (umpama shalat wajib kurang satu
rakaat) lalu dia mengulangi untuk kedua kalinya, maka itu disebut Ada`. Karena
yang pertama tidak sah dan dianggap tidak ada[23].
Seluruh
ulama sepakat wajib meng-qadha` kewajiban yang luput belum dikerjakan sampai
habis waktunya[25].
Dan
sebagai catatan, wajib muaqqat memang berkaitan dengan Ada`, I’adah, dan Qadha`.
Tetapi ketiganya juga berkaitan dengan sebagian ibadah yang sunnah semisal
meng-qadha` shalat qabliyyah subuh setelah shalat subuh. Tentu saja meng-qadha`
yang sunnah hukumnya pun juga sunnah.
Bahan
Bacaan:
- Al Khudhari Bek, Muhammad, Ushûl
al Fiqh, al Maktabah at Tijariyyah al Kubra, cet. VI, 1389 H / 1969 M
- An Namlah, ‘Abdulkarim, al
Jâmi’ li Masâil Ushûl al Fiqh, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, cet. I, 1420 H / 2000
M
- As Sullami, ‘Iyadh bin Nami, Ushul
al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh, Dar at Tadmuriyyah, Riyadh, cet.
I, 1426 H / 2005 M
- Az Zuhaili, Wahbah, Ushûl
al Fiqh al Islâmi, Dar al Fikr, Damaskus, cet. I, 1406 H / 1986 M
- Khallaf, ‘Abdulwahhab, ‘Ilm
Ushûl al Fiqh, Maktabah ad Da’wah al Islamiyyah, cet. VIII
- Zaidan, ‘Abdulkarim, al
Wajîz fi Ushûl al Fiqh, Muassasah Qurthubah, cet. VI, 1396 H / 1976 M.
Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az
Zuhaili 1/58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar