Pada kesempatan sebelumnya Anda telah membaca bahwa Wajib berdasarkan dzatnya dibagi menjadi dua, yaitu:
- Wajib Mu’ayyan (tertentu /
tidak ada pilihan lain)
- Wajib Mukhayyar (tidak
tertentu / ada pilihan lain).
Nah pada kesempatan kali ini
saya akan hadirkan untuk Anda pembagian Wajib berdasarkan orang yang
melakukannya (berdasarkan orang yang diwajibkan):
A. Wajib ‘Aini (Fardhu ‘Ain /
Kewajiban Personal)
B. Wajib Kifai (Fardhu Kifayah
/ Kewajiban Kolektif).
A. Wajib ‘Aini (Fardhu ‘Ain /
Kewajiban Personal)
Wâjib ‘Ayni (الْوَاجِبُ الْعَيْنِيُّ) adalah kewajiban yang yang dibebankan kepada setiap orang (person,
individu), tidak bisa diwakili oleh orang lain. Misalnya shalat (5 waktu), zakat, dan
haji[1].
Disebut sebagai Wajib ‘Aini
(‘Aini: personal / terkait person) karena perbuatan yang diwajibkan itu
dinisbatkan kepada diri dan person, dalam artian: pribadi person tersebut adalah
yang dituju[2].
Hukum Wajib ‘Ayni: Fardhu ‘Ain harus dikerjakan setiap mukallaf (yang
terkena kewajiban), dan kewajibannya tidak gugur walaupun ada orang lain
yang sudah mengerjakannya[3].
B. Wajib Kifai (Fardhu Kifayah
/ Kewajiban Kolektif)
Wâjib Kifâi (الْوَاجِبُ الْكِفَائِيُّ) adalah kewajiban yang dibebankan kepada person-person secara
kolektif (gabungan), dalam artian:
- jika sebagian sudah
melaksanakan maka ia telah melaksanakan kewajiban dan bebas dosa bagi yang
lain,
- dan jika tidak ada yang melaksanakannya
maka semuanya berdosa[4].
Di antara contohnya adalah:
amar makruf, nahi mungkar, shalat jenazah, membangun rumah sakit, dan
menyelamatkan orang yang tenggelam[5].
Disebut sebagai Wajib Kifai
(Kifai: secara harfiah artinya ‘cukup’) karena jika sebagian saja yang
melaksanakan maka sudah dianggap cukup, yang dituju adalah ‘terlaksananya
kewajiban’ dan bukan ‘personnya’.
Hukum Wajib Kifai: Wajib Kifai wajib atas semua, tetapi:
- Jika sebagian sudah
menunaikan maka dia saja yang dapat pahala dan yang lainnya hanya bebas tanggungan,
dan semuanya bebas dosa
- Tetapi jika semua tidak
mengerjakan maka semua -yang mampu mengerjakan- berdosa[6].
Tentu saja ‘bebas tanggungan’
dan ‘bebas dosa’ untuk lainnya ini berlaku jika pelaksanaan sebagian orang
sudah cukup. Kalau belum cukup, maka sisanya tetap punya tanggungan dan bisa
berdosa sebelum cukup. Karena substansi Wajib Kifai adalah kemaslahatan bersama[7].
Misalnya jika hanya satu orang
di sebuah wilayah yang secara khusus belajar agama, tentu tidak cukup. Satu
orang tersebut memang mendapat pahala, tetapi yang lainnya tetap punya
tanggungan dan bisa berdosa bila jumlah ahli agama belum cukup.
Perbedaan Wajib ‘Aini dengan
Wajib Kifai
1. Wajib ‘Aini harus dilakukan
oleh setiap orang (yang berkaitan).
Sementara Wajib Kifai cukup dilakukan oleh
sebagian orang dan cukup
2. Orang yang meninggalkan
Wajib ‘Aini berdosa, walau orang lain melaksanakannya
Orang yang meninggalkan Wajib ‘Aini tidak
berdosa (dan tidak dapat pahala), jika orang lain melaksanakannya dan cukup
3. Maslahat Wajib ‘Aini (cenderung) kembali
kepada pelaksananya
Maslahat Wajib Kifai bersifat umum[8]
Wajib Kifai Berubah Menjadi
Wajib ‘Aini
Kadang-kadang Wajib Kifai
(kewajiban kolektif) berubah menjadi Wajib ‘Aini (kewajiban personal), di
antaranya dalam hal-hal berikut ini:
- Jika disuatu wilayah hanya
ada satu dokter, maka memberi pertolongan medis adalah Wajib ‘Aini atas dokter
tersebut
- Jika dari sekelompok orang
melihat orang tenggelam dan hanya ada satu yang pandai berenang, maka yang
pandai berenang itu terkena Wajib ‘Aini menolong korban
- Jika imam menunjuk orang
tertentu (misalnya) untuk mengurus jenazah, maka bagi orang tertentu tersebut
hukum mengurus jenazah menjadi Wajib ‘Aini
- Jika orang-orang kafir
menyerang negerinya umat Islam dan tentara tidak mampu melawan mereka, maka
hukum jihad menjadi Wajib ‘Ain atas setiap muslim yang mampu (kecuali wanita)
- Jika seseorang merasa bahwa
orang lain tidak akan menunaikan Wajib Kifai, maka Wajib Kifai tersebut menjadi
Wajib ‘Aini atasnya jika dia mampu[9].
Bahan Bacaan:
- Al Jizani, Muhammad bin
Husain, Ma’âlim Ushûl al Fiqh ‘ind Ahl as Sunnah wa al Jamâ’ah, Dar Ibn
al Jawzi, Riyadh, cet. I, 1416 H / 1996 M
- An Namlah, ‘Abdulkarim, al
Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran, Maktabah ar Rusyd, Riyadh,
cet. I, 1420 H / 1999 M, jilid I hal.155-156
- As Sullami, ‘Iyadh bin Nami, Ushul
al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh, Dar at Tadmuriyyah, Riyadh, cet.
I, 1426 H / 2005 M
- Az Zuhaili, Wahbah, Ushûl
al Fiqh al Islâmi, Dar al Fikr, Damaskus, cet. I, 1406 H / 1986 M
- Khallaf, ‘Abdulwahhab, ‘Ilm
Ushûl al Fiqh, Maktabah ad Da’wah al Islamiyyah, cet. VIII
- Salamah, Abu Islam Mushthafa
bin Muhammad bin, at Ta`sîs fi Ushûl al Fiqh ‘ala Dlaw` al Kitâb wa as
Sunnah, Maktabah al Haramayn.
Ma’âlim Ushûl al Fiqh ‘inda Ahl as Sunnah
wa al Jamâ’ah karya Muhammad bin Husain al Jizani hal. 300
At Ta`sîs fi Ushûl al Fiqh karya Abu
Islam Mushthafa bin Muhammad bin Salamah hal. 36.
Ma’âlim Ushûl al Fiqh ‘inda Ahl as Sunnah
wa al Jamâ’ah karya Muhammad bin Husain al Jizani hal. 300
Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al
Muqâran karya ‘Ali bin
‘Abdulkarim an Namlah 1/215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar