Senin, 10 Desember 2018

Pembagian Wajib IV : Berdasarkan Orang yang Menunaikannya


Pada kesempatan sebelumnya Anda telah membaca bahwa Wajib berdasarkan dzatnya dibagi menjadi dua, yaitu:
- Wajib Mu’ayyan (tertentu / tidak ada pilihan lain)
- Wajib Mukhayyar (tidak tertentu / ada pilihan lain).

Nah pada kesempatan kali ini saya akan hadirkan untuk Anda pembagian Wajib berdasarkan orang yang melakukannya (berdasarkan orang yang diwajibkan):
A. Wajib ‘Aini (Fardhu ‘Ain / Kewajiban Personal)
B. Wajib Kifai (Fardhu Kifayah / Kewajiban Kolektif).



A. Wajib ‘Aini (Fardhu ‘Ain / Kewajiban Personal)
Wâjib ‘Ayni (الْوَاجِبُ الْعَيْنِيُّ) adalah kewajiban yang yang dibebankan kepada setiap orang (person, individu), tidak bisa diwakili oleh orang lain. Misalnya shalat (5 waktu), zakat, dan haji[1].

Disebut sebagai Wajib ‘Aini (‘Aini: personal / terkait person) karena perbuatan yang diwajibkan itu dinisbatkan kepada diri dan person, dalam artian: pribadi person tersebut adalah yang dituju[2].

Hukum Wajib ‘Ayni: Fardhu ‘Ain harus dikerjakan setiap mukallaf (yang terkena kewajiban), dan kewajibannya tidak gugur walaupun ada orang lain yang sudah mengerjakannya[3].



B. Wajib Kifai (Fardhu Kifayah / Kewajiban Kolektif)
Wâjib Kifâi (الْوَاجِبُ الْكِفَائِيُّ) adalah kewajiban yang dibebankan kepada person-person secara kolektif (gabungan), dalam artian:
- jika sebagian sudah melaksanakan maka ia telah melaksanakan kewajiban dan bebas dosa bagi yang lain,
- dan jika tidak ada yang melaksanakannya maka semuanya berdosa[4].

Di antara contohnya adalah: amar makruf, nahi mungkar, shalat jenazah, membangun rumah sakit, dan menyelamatkan orang yang tenggelam[5].

Disebut sebagai Wajib Kifai (Kifai: secara harfiah artinya ‘cukup’) karena jika sebagian saja yang melaksanakan maka sudah dianggap cukup, yang dituju adalah ‘terlaksananya kewajiban’ dan bukan ‘personnya’.


Hukum Wajib Kifai: Wajib Kifai wajib atas semua, tetapi:
- Jika sebagian sudah menunaikan maka dia saja yang dapat pahala dan yang lainnya hanya bebas tanggungan, dan semuanya bebas dosa
- Tetapi jika semua tidak mengerjakan maka semua -yang mampu mengerjakan- berdosa[6].

Tentu saja ‘bebas tanggungan’ dan ‘bebas dosa’ untuk lainnya ini berlaku jika pelaksanaan sebagian orang sudah cukup. Kalau belum cukup, maka sisanya tetap punya tanggungan dan bisa berdosa sebelum cukup. Karena substansi Wajib Kifai adalah kemaslahatan bersama[7].

Misalnya jika hanya satu orang di sebuah wilayah yang secara khusus belajar agama, tentu tidak cukup. Satu orang tersebut memang mendapat pahala, tetapi yang lainnya tetap punya tanggungan dan bisa berdosa bila jumlah ahli agama belum cukup.


Perbedaan Wajib ‘Aini dengan Wajib Kifai
1. Wajib ‘Aini harus dilakukan oleh setiap orang (yang berkaitan).
   Sementara Wajib Kifai cukup dilakukan oleh sebagian orang dan cukup

2. Orang yang meninggalkan Wajib ‘Aini berdosa, walau orang lain melaksanakannya
   Orang yang meninggalkan Wajib ‘Aini tidak berdosa (dan tidak dapat pahala), jika orang lain melaksanakannya dan cukup

3. Maslahat Wajib ‘Aini (cenderung) kembali kepada pelaksananya
   Maslahat Wajib Kifai bersifat umum[8]


Wajib Kifai Berubah Menjadi Wajib ‘Aini
Kadang-kadang Wajib Kifai (kewajiban kolektif) berubah menjadi Wajib ‘Aini (kewajiban personal), di antaranya dalam hal-hal berikut ini:
- Jika disuatu wilayah hanya ada satu dokter, maka memberi pertolongan medis adalah Wajib ‘Aini atas dokter tersebut

- Jika dari sekelompok orang melihat orang tenggelam dan hanya ada satu yang pandai berenang, maka yang pandai berenang itu terkena Wajib ‘Aini menolong korban

- Jika imam menunjuk orang tertentu (misalnya) untuk mengurus jenazah, maka bagi orang tertentu tersebut hukum mengurus jenazah menjadi Wajib ‘Aini

- Jika orang-orang kafir menyerang negerinya umat Islam dan tentara tidak mampu melawan mereka, maka hukum jihad menjadi Wajib ‘Ain atas setiap muslim yang mampu (kecuali wanita)

- Jika seseorang merasa bahwa orang lain tidak akan menunaikan Wajib Kifai, maka Wajib Kifai tersebut menjadi Wajib ‘Aini atasnya jika dia mampu[9].


Bahan Bacaan:
- Al Jizani, Muhammad bin Husain, Ma’âlim Ushûl al Fiqh ‘ind Ahl as Sunnah wa al Jamâ’ah, Dar Ibn al Jawzi, Riyadh, cet. I, 1416 H / 1996 M
- An Namlah, ‘Abdulkarim, al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, cet. I, 1420 H / 1999 M, jilid I hal.155-156
- As Sullami, ‘Iyadh bin Nami, Ushul al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh, Dar at Tadmuriyyah, Riyadh, cet. I, 1426 H / 2005 M
- Az Zuhaili, Wahbah, Ushûl al Fiqh al Islâmi, Dar al Fikr, Damaskus, cet. I, 1406 H / 1986 M
- Khallaf, ‘Abdulwahhab, ‘Ilm Ushûl al Fiqh, Maktabah ad Da’wah al Islamiyyah, cet. VIII
- Salamah, Abu Islam Mushthafa bin Muhammad bin, at Ta`sîs fi Ushûl al Fiqh ‘ala Dlaw` al Kitâb wa as Sunnah, Maktabah al Haramayn.


[1] ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf  hal. 108.
[2] Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Ali bin ‘Abdulkarim an Namlah 1/214.
[3] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/60.
[4] ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf  hal. 108.
[5] ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf  hal. 108-109.
[6] Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/62
  Ma’âlim Ushûl al Fiqh ‘inda Ahl as Sunnah wa al Jamâ’ah karya Muhammad bin Husain al Jizani hal. 300
  At Ta`sîs fi Ushûl al Fiqh karya Abu Islam Mushthafa bin Muhammad bin Salamah hal. 36.
[7] Ushûl al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh karya ‘Iyadh nin Nami as Sullami hal. 37.
[8] Ushûl al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh karya ‘Iyadh nin Nami as Sullami hal. 37.
  Ma’âlim Ushûl al Fiqh ‘inda Ahl as Sunnah wa al Jamâ’ah karya Muhammad bin Husain al Jizani hal. 300
[9] ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf  hal. 109.
  Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Ali bin ‘Abdulkarim an Namlah 1/215.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar