Sabtu, 24 Maret 2018

Mengqadha Dua Rakaat Sebelum Subuh

Keutamaan Shalat Qabliyyah Subuh
Shalat Sunnah Sebelum (Qabliyyah) Subuh -disebut juga Dua Rakaat Fajar atau Shalat Sunnah Fajar- adalah salah satu shalat sunnah yang paling utama. Dalam sebuah hadits dikatakan:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia seisinya” (HSR Muslim).

Dengan keutamaan sebesar itu, bagaimana jika kita tidak sempat menunaikannya -misalnya- karena keburu iqamah?


Boleh Meng-qadha` Shalat Qabliyyah Subuh Setelah

Kamis, 08 Maret 2018

6 Manfaat Mempelajari Kaidah Fikih


1. Mudah Menghafal Hukum Banyak Persoalan
Pada umumnya Kaidah Fikih disusun dengan kalimat ringkas. الْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا “segala perkara tergantung tujuannya”, الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ “Adat itu dijadikan hukum”, dan الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ “kesulitan mendatangkan kemudahan”.
Karena disusun dengan kalimat ringkas, kaidah fikih mudah untuk dihafalkan terutama untuk pemula.

2. Memudahkan Memahami Banyak Hukum Fikih

NPD Ke-4: Jenis-Jenis Ism (Kata Benda): Mufrad, Mutsanna, Dan Jam’


Dalam NPD (Nahwu Paling Dasar) ke-3, Anda sudah mempelajari bahwa ism berdasarkan jenisnya dibagi menjadi:
                - Mudzakkar      : dianggap laki-laki, seperti عُمَرُ (‘Umar) dan كِتَابٌ (buku)
                - Muannats        : dianggap perempuan, seperti مُسْلِمَةٌ (muslimah) dan نَارٌ (api).

Materi I:
Di NPD ke-4 ini Anda akan mempelajari jenis-jenis ism berdasarkan jumlahnya, yaitu:

NPD Ke-3: Jenis-Jenis Ism (Kata Benda): Mudzakkar & Muannats


Dalam NPD (Nahwa Paling Dasar) ke-2, Anda sudah mempelajari bahwa:
Kalimahdibagi menjadi tiga, yaitu: Ism, Fi’l, dan Harf.

Dalam beberapa postingan NPD ke depan ini Anda akan mempelajari beberapa bentuk Ism, yaitu:
                - Mudzakkar dan Muannats (laki-laki dan perempuan)
                - Mufrad, Mutsanna, dan Jam’ (tunggal, ganda, dan jamak)
                - Ism Isyârah (ini, itu)
                - Ism Mawshûl (yang)
                - Ma’rifah dan Nakirah (Tertentu dan Tidak Tertentu).

Dalam NPD ke-3 ini Anda akan mempelajari Mudzakkar dan Muannats.

Apakah Kaidah Fikih Bisa Jadi Hujjah?



Bisakah kita mengatakan “hukumnya halal”, “yang seperti itu tidak sah”, dan sebagainya hanya berdasarkan Kaidah Fikih?
Dengankalimat lain, apakah KaidahFikih bisa dijadikan salah satu dalil agama?

Dalam hal ini, ada tiga pendapat para ulama:

Pendapat Pertama: Tidak Bisa Jadi Hujjah
Di antara ulama yang berpen dapat begini adalah al Juwaini, Ibnu Najim, dan Ibnu Daqiqil ‘Id. Di antara alasan mereka:
1. Kaidah Fikih hanya bersifat ‘berlaku untuk mayoritas obyek’
Jika kita berdalil dengan Kaidah Fikih, takutnya obyek yang kita hadapi adalah yang dikecualikan dari Kaidah Umum

2. Kaidah Fikih banyak yang tidak didasarkan Istiqrâ`
Istiqrâ` adalah penelitian terhadap semua atau hampir semua dalil. Banyak Kaidah Fikih yang didasarkan pada istiqra` yang tidak sempurna (meneliti hampir semua), sehingga kurang kuat untuk dijadikan dalil

3. Kaidah Fikih (ada yang) merupakan kumpulan persoalan yang hukumnya sama
Tidak mungkin kita jadikan titik persamaan antar sekian persoalan fikih sebagai dalil.


Pendapat Kedua: Bisa Jadi Hujjah
Di antara ulama yang berpendapat sepertiini adalah al Qarafi, Ibnu ‘Arafah, dan as Suyuthi. Seorang ulama bernama Ibnu Basyir al Maliki juga disebut-sebut berdalil dengan Kaidah Fikih. Di antara alasan mereka:
1. Kaidah Fikih itu cenderung Universal, bukan hanya ‘berlaku untuk mayoritas obyek’
Mereka menyatakan bahwa obyek yang dikecualikan dari suatu Kaidah Fikih itu sedikit. Yang banyak adalah obyek-obyek yang tidak memenuhi syarat untuk dikaitkan dengan Kaidah Fikih tersebut.
Selain itu, kalau ternyata obyek yang kita hadapi ternyata dikecualikand ari Kaidah Fikih, ya tinggal jangan dihukumi dengan Kaidah Fikih tersebut.

2. Kaidah Fikih yang dasarnya istiqra` tidak sempurna itu tidak masalah
Mereka menyatakan bahwa hasil istiqra` yang tidak sempurna itu boleh tetap disebut ‘universal’

3. Kaidah Fikih yang merupakan kumpulan persoalan yang hukumnya sama itu tidak masalah
Kaidah Ushul Fikih (terutama dari madzhab hanafi) banyak yang didasarkan pada titik temu banyak persoalan yang disarikan jadi kaidah.
Begitu juga Kaidah Bahasa Arab banyak yang didasarkan pada titik persamaan teknis ucapan orang-orang Arab, sehingga disimpulkan Kaidah seputar Bahasa Arab.


Pendapat Ketiga: Ke-hujjah-annya Tergantung Pada Sumber (Sandaran)nya
1. Kaidah Fikih yang didasarkan pada al Quran dan Sunnah adalah hujjah.
Dengan catatan: jadi hujjah karena dalilnya adalah al Quran dan Sunnah, bukan karena ia adalah Kaidah Fikih.

2. Begitu juga Kaidah Fikih yang juga merupakan Kaidah Ushul Fikih (jumlahnya sedikit) juga bisa dijadikan sebagai hujjah. Seperti kaidah:
                - الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu itu mubah”
                - مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ الْوَاجِبُ “Apa yang tanpanya suatu kewajiban tidak sempurna, maka hukumnya pun wajib”.

3. Adapun Kaidah Fikih yang didasarkan pada hal lain seperti Istish-hab, Qiyas, dan sebagainya, maka ke-hujjah-annya tergantung pada ke-hujjah-an sumbernya dan aturan-aturannya.

Ketiga poin di atas adalah kesimpulan Syaikh Dr. ‘Abdul’aziz Muhammad ‘Azzam dalam al Qawâ’id al Fiqhiyyah.

Satu hal yang jelas, Kaidah Fikih (yang tidak secara mutlak bisa dijadikan hujjah) tetap saja sangat dibutuhkan sebagai pertimbangan penting saat menyimpulkan hukums yar’i.

Bahan Bacaan:
- Al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya ‘Abdul’aziz ‘Azzam hal. 69-72
- Al Mumti’ fi al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya Muslim bin Muhammad ad Dusari hal. 61-64
- Al Wajîz fi Îdlâh Qawâ’id al Fiqh al Kulliyyah karya Muhammad Shidqi al Burnu hal.39-44.

Sumber-sumber Kaidah Fikih


Kaidah Fikih secara garis besar dibentuk dari dua referensi saja, yaitu:
                A. Nash (al Quran-Sunnah ,Sahabat-Tabi’in, dan Ulama)
                B. Istidlal (Ishtishhab, Qiyas, Penalaran Akal, dan Tarjih antara hal-hal bertentangan).

A. NASH
Yang dimaksud dengan nash di sini adalah segala bentuk teks, tidak melulu nash al Quran dan Sunnah. Ada tiga jenis nash sumber Kaidah Fikih, yaitu: nash al Quran dan Sunnah, Sahabat dan Tabi’in, serta

Macam-macam Kaidah Fikih



Kaidah Fikih banyak macamnya, dan dibagi berdasarkan beberapa jenis pembagian. Di antaranya:

A. Pembagian Berdasarkan Sifat Universalitas-nya
1. Kaidah-kaidah Universal yang Besar (الْقَوَاعِدُ الْكُلِّيَّةُ الْكُبْرَى)
Yaitu kaidah-kaidah yang masuk ke dalam seluruh / sebagian besar lini kehidupan[1], dan ada kaidah-kaidah lainnya yang menginduk padanya[2]. Kaidah jenisini adalima, yaitu:
                a. الْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا                     (Segala perkara tergantung tujuannya)
                b. الْيَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ             (Keyakinan tidak bisa hilang dengan keraguan)
                c. الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ              (Kesulitan mengundang kemudahan)