Bisakah kita mengatakan “hukumnya halal”,
“yang seperti itu tidak sah”, dan sebagainya hanya berdasarkan Kaidah Fikih?
Dengankalimat lain, apakah KaidahFikih bisa dijadikan
salah satu dalil agama?
Dalam hal ini, ada tiga pendapat para ulama:
Pendapat Pertama: Tidak Bisa Jadi Hujjah
Di antara ulama yang berpen dapat begini adalah
al Juwaini, Ibnu Najim, dan Ibnu Daqiqil
‘Id. Di antara alasan mereka:
1.
Kaidah Fikih hanya bersifat ‘berlaku untuk mayoritas obyek’
Jika kita berdalil dengan Kaidah Fikih,
takutnya obyek yang kita hadapi adalah yang dikecualikan dari Kaidah Umum
2. Kaidah Fikih banyak yang tidak didasarkan Istiqrâ`
Istiqrâ` adalah penelitian terhadap semua
atau hampir semua dalil. Banyak Kaidah Fikih yang didasarkan pada istiqra` yang
tidak sempurna (meneliti hampir semua), sehingga kurang kuat untuk dijadikan dalil
3. Kaidah Fikih (ada yang) merupakan kumpulan persoalan
yang hukumnya sama
Tidak mungkin kita jadikan
titik persamaan antar sekian persoalan fikih sebagai dalil.
Pendapat Kedua:
Bisa Jadi Hujjah
Di antara ulama yang
berpendapat sepertiini adalah al Qarafi, Ibnu ‘Arafah, dan as Suyuthi. Seorang ulama bernama Ibnu Basyir al Maliki juga disebut-sebut berdalil dengan
Kaidah Fikih. Di antara alasan mereka:
1. Kaidah Fikih itu cenderung Universal, bukan hanya
‘berlaku untuk mayoritas obyek’
Mereka menyatakan bahwa obyek
yang dikecualikan dari suatu Kaidah Fikih itu sedikit. Yang banyak adalah obyek-obyek
yang tidak memenuhi syarat untuk dikaitkan dengan Kaidah Fikih tersebut.
Selain itu, kalau ternyata
obyek yang kita hadapi ternyata dikecualikand ari Kaidah Fikih, ya tinggal jangan
dihukumi dengan Kaidah Fikih tersebut.
2. Kaidah Fikih yang dasarnya istiqra` tidak sempurna
itu tidak masalah
Mereka menyatakan bahwa
hasil istiqra` yang tidak sempurna itu boleh tetap disebut ‘universal’
3. Kaidah Fikih yang merupakan kumpulan persoalan
yang hukumnya sama itu tidak masalah
Kaidah Ushul Fikih
(terutama dari madzhab hanafi) banyak yang didasarkan pada titik temu banyak persoalan
yang disarikan jadi kaidah.
Begitu juga Kaidah Bahasa
Arab banyak yang didasarkan pada titik persamaan teknis ucapan orang-orang
Arab, sehingga disimpulkan Kaidah seputar Bahasa Arab.
Pendapat Ketiga:
Ke-hujjah-annya Tergantung Pada Sumber (Sandaran)nya
1. Kaidah Fikih yang
didasarkan pada al Quran dan Sunnah adalah hujjah.
Dengan catatan: jadi hujjah
karena dalilnya adalah al Quran dan Sunnah, bukan karena ia adalah Kaidah Fikih.
2. Begitu juga Kaidah Fikih
yang juga merupakan Kaidah Ushul Fikih (jumlahnya sedikit) juga bisa dijadikan sebagai
hujjah. Seperti kaidah:
- الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ
الْإِبَاحَةُ “Hukum asal segala sesuatu itu mubah”
- مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ
إِلَّا بِهِ فَهُوَ الْوَاجِبُ “Apa yang tanpanya suatu kewajiban tidak sempurna, maka hukumnya
pun wajib”.
3. Adapun Kaidah Fikih
yang didasarkan pada hal lain seperti Istish-hab, Qiyas, dan sebagainya, maka ke-hujjah-annya
tergantung pada ke-hujjah-an sumbernya dan aturan-aturannya.
Ketiga poin di atas adalah
kesimpulan Syaikh Dr. ‘Abdul’aziz Muhammad ‘Azzam dalam al Qawâ’id al
Fiqhiyyah.
Satu hal yang jelas,
Kaidah Fikih (yang tidak secara mutlak bisa dijadikan hujjah) tetap saja sangat dibutuhkan sebagai
pertimbangan penting saat menyimpulkan hukums yar’i.
Bahan Bacaan:
- Al Qawâ’id al
Fiqhiyyah karya ‘Abdul’aziz ‘Azzam hal. 69-72
- Al Mumti’ fi al
Qawâ’id al Fiqhiyyah karya Muslim bin Muhammad ad Dusari hal. 61-64
- Al Wajîz fi Îdlâh
Qawâ’id al Fiqh al Kulliyyah karya
Muhammad Shidqi al Burnu hal.39-44.