Kamis, 08 Maret 2018

Macam-macam Kaidah Fikih



Kaidah Fikih banyak macamnya, dan dibagi berdasarkan beberapa jenis pembagian. Di antaranya:

A. Pembagian Berdasarkan Sifat Universalitas-nya
1. Kaidah-kaidah Universal yang Besar (الْقَوَاعِدُ الْكُلِّيَّةُ الْكُبْرَى)
Yaitu kaidah-kaidah yang masuk ke dalam seluruh / sebagian besar lini kehidupan[1], dan ada kaidah-kaidah lainnya yang menginduk padanya[2]. Kaidah jenisini adalima, yaitu:
                a. الْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا                     (Segala perkara tergantung tujuannya)
                b. الْيَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ             (Keyakinan tidak bisa hilang dengan keraguan)
                c. الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ              (Kesulitan mengundang kemudahan)

                d. الضَّرَرُ يُزَالُ                           (Bahaya harus dihilangkan)
                e. الْعَادَةُ مُحَكَّمَةُ                         (Adat itu dijadikan hukum)[3].
Selain lima di atas, kita juga bisa tambahkan dua lagi yaitu:
                f. إِعْمَالُ الْكَلَامِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهَ (Memperhitungkan kalam lebih utama dari mengacuhkannya)
                g. التَّابِعُ تَابِعٌ                              (Yang mengikuti adalah/tetaplah yang mengikuti)[4].

                2. Kaidah-kaidah kecil (Shughra)
Yaitu kaidah-kaidah yang tidak termasuk “Kaidah-kaidah Universal yang Besar”[5].Bisa juga kita katakan: kaidah-kaidah yang mencakup banyak lini kehidupan, tetapi tidak sebanyak cakupkan “KaidahUnversal yang Besar di atas”[6].

Kaidah-kaidah kecil ini dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Kaidah yang menginduk pada Kaidah Besar
Contohnya kaidah “Darurat membolehkan larangan” yang menginduk pada Kaidah Besar “Kesulitan mengundang kemudahan”.Contoh lain: kaidah “Tidak diingkari perubahan hukum akibat perubahan tempat dan waktu”.
                b.Kaidah yang berdiri sendiri (tidak menginduk ke Kaidah Besar)
Contohnya adalah kaidah “Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad” dan “Mengatur rakyat itu berpedoman pada kemaslahatan”. Kedua kaidah ini tidak menginduk ke Kaidah Besar manapun.

(Sebagian menambahkan:) c. Kaidah-kaidah Khusus
Kaidah Khusus (Dhabith Fikih) adalah kaidah yang hanya berlaku untuk satu atau dua bab fikih saja. Seperti “Setiap kaffarat yang disebabkan tindak maksiat, harus dibayar segera”[7].
Menurut saya Kaidah-kaidah khusus (Dhabith-dhabith Fikih) ini sebaiknya tidak dihitung sebagai Kaidah.


B. Pembagian Berdasarkan Independensinya (Berdiri Sendiri atau Tidak)
                1. Kaidah yang Independen (Mustaqillah), tidak menginduk ke kaidah lain
Yaitu kaidah yang bukan cabang (ketentuan atau perkecualian) untuk kaidah lainnya.Contoh:
a. 5 Kaidah Universal yang Besardan 2 tambahannya
b. “Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad”

                2. Kaidah yang Menginduk (Tâbi’ah), menginduk ke kaidahlainnya
Yaitu kaidah yang merupakan cabang untuk kaidah lainnya. Contoh:
                a. “Adat jadi hukum untuk hal yang tidak ada ketentuan syar’inya” adalah ketentuan untuk kaidah “Adat itu dijadikan hukum
                b. “Darurat membolehkan larangan” adalah perkecualian dari hukum larangan syar’i[8].


C. Pembagian Berdasarkan Penerimaan Para Ulama
                1. Kaidah yang disepakati seluruh ulama
Seperti 5 Kaidah Universal yang Besar, dan mayoritas kaidah fikih lainnya[9].

                2. Kaidah yang diperselisihkan para ulama
Ada yang menggunakan kaidah ini, ada pula yang menolaknya[10]. Bagian kedua ini bisa dibagi:
a.Kaidah yang disetujui mayoritas ulama
Contoh: “Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad” dan “hukum had ditolak dengans yubhat terlemah”
                b.Kaidah yang diperselihkan antar madzhab
Contoh: “Apakah zhann (sangkaan) bisa dibatalkan dengan zhann?”
                c.Kaidah yang diperselisihkan antar ulama sebuah madzhab
Contoh: “Yang wajib itu benar atau berusaha (supaya benar)?”.

Kaidah-kaidah yang diperselisihkan para ulama ini sebetulnya tidak begitu banyak, terutama untuk jenis “diperselisihkan antar madzhab” dan “diperselisihkan antar ulama sebuah madzhab”.
Kaidah-kaidah yang saya bahas setelah rangkaian mukadimah ini, insya Allah lebih ke “Kaidah yang Disepakati” dan “Kaidah yang Disetujui Mayoritas Ulama”.


[1]Al Mumti’ fi al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya Muslim bin Muhammad ad Dusari hal. 27.
[2]Al Wajîz fi ÎdlâhQawâ’id al Fiqh al Kulliyyah karya Muhammad Shidqi al Burnu hal. 27.
[3]Al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya ‘Abdul’aziz ‘Azzam hal. 62.
[4]Al Mufassal fi al Qawâ’id al Fiqhiyyah karyaYa’qub bin ‘Abdulwahhab al Bahusain hal. 473.
[5]Al Mumti’ fi al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya Muslim bin Muhammad ad Dusari hal. 27.
[6]Al Wajîz fi ÎdlâhQawâ’id al Fiqh al Kulliyyah karya Muhammad Shidqi al Burnu hal. 27-28.
[7]Al Wajîz fi ÎdlâhQawâ’id al Fiqh al Kulliyyah karya Muhammad Shidqi al Burnu hal. 28-29.
[8]Al Qawâ’id al Fiqhiyyah karya ‘Abdul’aziz ‘Azzam hal.65-67 (dengan sedikit perubahan contoh).
[9]Al Wajîz fi ÎdlâhQawâ’id al Fiqh al Kulliyyah karya Muhammad Shidqi al Burnu hal. 28.
[10]Al Wajîz fi ÎdlâhQawâ’id al Fiqh al Kulliyyah karya Muhammad Shidqi al Burnu hal. 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar