Dalam
tulisan sebelumnya, Anda telah membaca bahwa Hukum Taklifi adalah hukum yang
menuntut kita untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, maupun
membebaskan untuk melakukan atau meninggalkannya.
Anda
pun telah membaca bahwa Hukum Taklifi ada lima jenis yaitu: wajib, mandub,
mubah, haram, dan makruh. Pengantar Pembahasan Wajib Pun
Nah
pada kesempatan kali ini saya hadirkan untuk Anda pembahasan tentang definisi Wajib dan beberap hal terkait dengannya.
Definisi
Wajib Secara Bahasa
Wâjib (الْوَاجِبُ) secara bahasa artinya: yang jatuh. Misalnya
dikatakan: وَجَبَ الْجِدَارُ “tembok itu wajib”, maksudnya: jatuh (runtuh). Hukum wajib
disebut ‘wajib’, menegaskan bahwa keputusan wajib tersebut jatuh atas mukallaf
(orang yang kena beban perintah dan larangan) dari Allah[1].
Sebagian ahli bahasa menyebut bahwa wajib secara
bahasa juga bermakna lâzim (harus, tetap, pasti). Mungkin ini
terpengaruh dengan makna wajib secara istilah[2].
Definisi Wajib Secara Istilah
Ada perbedaan di kalangan ulama tentang definisi wajib
secara istilah, di antaranya:
1. Sesuatu yang berpahala jika dikerjakan, dan berdosa
(dihukum) jika ditinggalkan[3]
2. Sesuatu yang dituntut syariat untuk dikerjakan
sebagai suatu keharusan[4]
3. Sesuatu yang pelakunya dipuji dan yang meninggalkan
dicela[5]
4. Sesuatu yang dituntut syariat untuk dikerjakan
sebagai suatu keharusan, jika dikerjakan maka dapat pujian dan pahala, dan jika
ditinggalkan maka dapat celaan dan dosa[6]
(gabungan definisi nomor 1-3).
Perbedaan keempat definisi di atas hanyalah khilâf
lafzhi (beda lafal tapi substansinya sama), karena:
- Wajib itu harus dikerjakan
- Orang yang mengerjakan suatu keharusan artinya
berhak dipuji, sehingga berhak mendapat pahala
- Orang yang meninggalkan suatu keharusan artinya
layak dicela, sehingga layak mendapat dosa.
Meski demikian perlu dicatat bahwa definisi pertama
adalah yang paling terkenal dan mungkin dihafal oleh siapapun. Sedangkan
definisi keempat adalah definisi yang paling lengkap karena menggabungkan tiga
definisi di atasnya.
Nama-nama Lain Wajib
Di antara nama lain wajib adalah: fardl
(fardhu) (menurut jumhur ulama), amr (perintah), hatm
(pasti, harus), lâzim (pasti, harus, tetap), dan maktûb
(ditetapkan)[7].
Wajib dan Fardhu
Definisi Menurut Jumhur Ulama
Jumhur Ulama mengatakan bahwa wajib dan fardhu itu
sama (dengan definisi yang saya sebutkan di atas), sedangkan Hanafiyyah / Ahnaf
(Madzhab Hanafi) menganggapnya berbeda.
Definisi Menurut Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa:
1. Fardhu itu yang dalilnya qath’i (pasti),
baik itu:
-qath’iyy ats tsubût (periwayatannya pasti
benar / mutawatir),
- maupun qathiyy ad dalâlah (maknanya pasti).
Contoh: shalat 5 waktu dan puasa Ramadhan[8].
* Mutawatir: diriwayatkan banyak orang di semua
generasi periwayatan, yang secara akal jumlah banyak orang tersebut menunjukkan
mustahil mereka bersekongkol untuk mengarangnya
2. Wajib (atau yang juga mereka sebut: fardhu ‘amali) itu
yang dalilnya zhanniyy (belum pasti), baik itu:
- secara periwayatan (misalnya hadits ahad),
- maupun makna (misalnya ditetapkan berdasarkan qiyas
terhadap sesuatu yang diharamkan berdasarkan ayat al Quran).
Misalnya: zakat fitrah[9].
Ringkasnya, menurut pendapat ini: fardhu lebih kuat
dari wajib.
Berdasarkan pembedaan fardhu dengan wajib di atas,
Madzhab Hanafi mengatakan:
- Mengingkari fardhu itu kufur, dan ia lebih kuat dari
yang wajib
- Mengingkari wajib itu tidak kufur, hanya sampai
batas fasik[10].
Hanya Beda Kalimat Tapi Substansinya Sama
Meskipun jumhur ulama mengatakan bahwa fardhu dan
wajib itu sama saja (semua perintah yang qath’i maupun zhanni disebut wajib dan
juga disebut fardhu), jumhur ulama juga mengatakan bahwa mengingkari perintah
yang qath’i itu kufur, dan bahwa perintah yang qath’i itu lebih kuat dari
perintah yang zhanni. Oleh sebab itu, sebenarnya perbedaan antara madzhab
hanafi dan jumhur ulama hanyalah khilâf lafzhi (beda kalimat tapi
substansinya sama) belaka[11].
Sebagian ulama mengatakan bahwa perbedaan soal
‘samakah wajib dan fardhu’ ini punya pengaruh dalam perbedaan hukum fikih
(baca: khilâf ma’nawai). Misalnya tentang tidak membaca al Fatihah dalam
shalat:
- Madzhab Syafii: tidak sah shalat tanpa baca al
Fatihah, karena itu fardhu
- Madzhab Hanafi: sah shalat tanpa baca al Fatihah,
karena itu wajib.
Tetapi sebenarnya perbedaan pendapat soal shalat sah atau
tidak sah di atas bukan karena Madzhab Syafii menyebutnya ‘fardhu’ dan Madzhab
Hanafi menyebutnya ‘wajib’. Tetapi perbedaan di atas adalah karena:
- Madzhab Syafii menafsirkan firman Allah “..karena
itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al Quran..” (QS al Muzammil: 20)
dengan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca al Fatihah
dalam shalat. Sehingga, tidak sah shalat orang yang tidak membaca al Fatihah
dalam shalat
- Sementara Madzhab Hanafi menganggap bahwa ayat di
atas berlaku umum. Sehingga menurut mereka, sah shalat orang yang tidak membaca
al Fatihah.
Jadi perbedaannya berasal dari perbedaan memahami
ayat, bukan soal sebutan ‘fardhu’ atau ‘wajib’[12].
Lebih Baik Jika Wajib dan Fardhu Disamakan
Meskipun perbedaan soal ‘apakah fardhu dan wajib itu
sama’ hanyalah khilaf lafzhi (beda kalimat tapi substansinya sama), tetapi
menyamakan wajib dengan fardhu ala jumhur ulama lebih tepat dan lebih mudah
dipahami. Di antara alasannya adalah pembedaan antara fardhu dengan wajib
menyebabkan banyak perintah hukumnya fardhu bagi sebagian orang, tetapi wajib
saja bagi sebagian orang lain.
Misalkan ada sahabat yang mendengar langsung perintah
Rasulullah ﷺ untuk
melakukan suatu hal. Karena mendengar langsung dari beliau, maka perintah
tersebut bagi sahabat itu ‘pasti harus’ (baca: qath’i) sehingga hukumnya
fardhu.
Tetapi (umpamanya) kemudian perintah tersebut
diriwayatkan dengan jalur ahad, sehingga ‘tidak pasti’ (baca: zhanni) dan
hukumnya turun jadi sekedar wajib untuk generasi setelah sahabat. Sehingga,
perintah Rasulullah ﷺ tersebut
fardhu bagi sebagian orang tetapi wajib untuk sebagian yang lain. Itulah kenapa
lebih baik wajib dan fardhu itu disamakan saja[13].
Meski lebih nyaman jika wajib dan fardhu kita anggap sama, tentu saja ketika membaca kitab-kitab
Fikih dari Madzhab Hanafi, kita harus paham bahwa mereka membedakan fardhu
dengan wajib[14].
Daftar Bacaan:
- Abu
Zahrah, Muhammad, Ushûl al Fiqh, Dar al Fikr al ‘Arabi
- Al
Asyqar, Muhammad Sulaiman, al Wâdlih fi Ushûl al Fiqh, Dar as
Salam, Kairo, cet. II, 1425 H / 2004 M
- Al
Judai’, ‘Abdullah bin Yusuf, Taysîr ‘Ilm Ushûl al Fiqh, Muassasah ar
Rayyan, Beirut, cet. I, 1418 H / 1997 M
- An
Namlah, ‘Abdulkarim, al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran,
Maktabah ar Rusyd, Riyadh, cet. I, 1420 H / 1999 M
- As
Sullami, ‘Iyadh bin Nami, Ushul al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh,
Dar at Tadmuriyyah, Riyadh, cet. I, 1426 H / 2005 M
- Az
Zuhaili, Wahbah, Ushûl al Fiqh al Islâmi, Dar al Fikr, Damaskus, cet. I,
1406 H / 1986 M
-
Khallaf, ‘Abdulwahhab, ‘Ilm Ushûl al Fiqh, Maktabah ad Da’wah al
Islamiyyah, cet. VIII
-
Salamah, Abu Islam Mushthafa bin Muhammad bin, at Ta`sîs fi Ushûl al Fiqh
‘ala Dlaw` al Kitâb wa as Sunnah, Maktabah al Haramayn
-
Salqini, Ibrahim Muhammad, al Muyassar fi Ushûl al Fiqh al Islâmi, Dar
al Fikr al Mu’ashir, Beirut, cet. II, 1996 M
-
Zaidan, ‘Abdulkarim, al Wajîz fi Ushûl al Fiqh, Muassasah Qurthubah,
cet. VI, 1396 H / 1976 M.
[7]At Ta`sîs fi Ushûl al Fiqh ‘ala Dlaw` al Kitâb
wa as Sunnah karya Abu Islam
Mushthafa bin Muhammad bin Salamah hal. 32.
Al Muhadzdzab
fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran
karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an Namlah 1/150.
Sebaiknya tulisan2 jenengan di bukukam dalam satu buku dan di cetak agar teman2 yg ada di majlis tarjih khususnya dan warga muhammafiyah pada umumnya bisa menambah wawasan dalam bidang ilmu fiqih maupun ilmu usul fiqih
BalasHapusJazakallahu khayra atas dukungan Anda. Semoga tulisan saya lebih bermanfaat ke depannya untuk teman-teman di Majelis Tarjih, dan di Muhammadiyah lebih umumnya, serta umat Islam lebih umumnya lagi...
HapusUntuk penulisan buku, walau sekarang masih bab-bab awal, semoga terlaksana ke depannya... :)