Senin, 03 Desember 2018

Definisi Wajib dan Fardhu



Dalam tulisan sebelumnya, Anda telah membaca bahwa Hukum Taklifi adalah hukum yang menuntut kita untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, maupun membebaskan untuk melakukan atau meninggalkannya.

Anda pun telah membaca bahwa Hukum Taklifi ada lima jenis yaitu: wajib, mandub, mubah, haram, dan makruh. Pengantar Pembahasan Wajib Pun

Nah pada kesempatan kali ini saya hadirkan untuk Anda pembahasan tentang definisi Wajib dan beberap hal terkait dengannya.


Definisi Wajib Secara Bahasa
Wâjib (الْوَاجِبُ) secara bahasa artinya: yang jatuh. Misalnya dikatakan: وَجَبَ الْجِدَارُ “tembok itu wajib”, maksudnya: jatuh (runtuh). Hukum wajib disebut ‘wajib’, menegaskan bahwa keputusan wajib tersebut jatuh atas mukallaf (orang yang kena beban perintah dan larangan) dari Allah[1].


Sebagian ahli bahasa menyebut bahwa wajib secara bahasa juga bermakna lâzim (harus, tetap, pasti). Mungkin ini terpengaruh dengan makna wajib secara istilah[2].


Definisi Wajib Secara Istilah
Ada perbedaan di kalangan ulama tentang definisi wajib secara istilah, di antaranya:

1. Sesuatu yang berpahala jika dikerjakan, dan berdosa (dihukum) jika ditinggalkan[3]

2. Sesuatu yang dituntut syariat untuk dikerjakan sebagai suatu keharusan[4]

3. Sesuatu yang pelakunya dipuji dan yang meninggalkan dicela[5]

4. Sesuatu yang dituntut syariat untuk dikerjakan sebagai suatu keharusan, jika dikerjakan maka dapat pujian dan pahala, dan jika ditinggalkan maka dapat celaan dan dosa[6] (gabungan definisi nomor 1-3).

Perbedaan keempat definisi di atas hanyalah khilâf lafzhi (beda lafal tapi substansinya sama), karena:
- Wajib itu harus dikerjakan
- Orang yang mengerjakan suatu keharusan artinya berhak dipuji, sehingga berhak mendapat pahala
- Orang yang meninggalkan suatu keharusan artinya layak dicela, sehingga layak mendapat dosa.

Meski demikian perlu dicatat bahwa definisi pertama adalah yang paling terkenal dan mungkin dihafal oleh siapapun. Sedangkan definisi keempat adalah definisi yang paling lengkap karena menggabungkan tiga definisi di atasnya.


Nama-nama Lain Wajib
Di antara nama lain wajib adalah: fardl (fardhu) (menurut jumhur ulama), amr (perintah), hatm (pasti, harus), lâzim (pasti, harus, tetap), dan maktûb (ditetapkan)[7].


Wajib dan Fardhu
Definisi Menurut Jumhur Ulama
Jumhur Ulama mengatakan bahwa wajib dan fardhu itu sama (dengan definisi yang saya sebutkan di atas), sedangkan Hanafiyyah / Ahnaf (Madzhab Hanafi) menganggapnya berbeda.

Definisi Menurut Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa:
1. Fardhu itu yang dalilnya qath’i (pasti), baik itu:
-qath’iyy ats tsubût (periwayatannya pasti benar / mutawatir),
- maupun qathiyy ad dalâlah (maknanya pasti).
Contoh: shalat 5 waktu dan puasa Ramadhan[8].

* Mutawatir: diriwayatkan banyak orang di semua generasi periwayatan, yang secara akal jumlah banyak orang tersebut menunjukkan mustahil mereka bersekongkol untuk mengarangnya

2. Wajib (atau yang juga mereka sebut: fardhu ‘amali) itu yang dalilnya zhanniyy (belum pasti), baik itu:
- secara periwayatan (misalnya hadits ahad),
- maupun makna (misalnya ditetapkan berdasarkan qiyas terhadap sesuatu yang diharamkan berdasarkan ayat al Quran).
Misalnya: zakat fitrah[9].
Ringkasnya, menurut pendapat ini: fardhu lebih kuat dari wajib.

Berdasarkan pembedaan fardhu dengan wajib di atas, Madzhab Hanafi mengatakan:
- Mengingkari fardhu itu kufur, dan ia lebih kuat dari yang wajib
- Mengingkari wajib itu tidak kufur, hanya sampai batas fasik[10].

Hanya Beda Kalimat Tapi Substansinya Sama
Meskipun jumhur ulama mengatakan bahwa fardhu dan wajib itu sama saja (semua perintah yang qath’i maupun zhanni disebut wajib dan juga disebut fardhu), jumhur ulama juga mengatakan bahwa mengingkari perintah yang qath’i itu kufur, dan bahwa perintah yang qath’i itu lebih kuat dari perintah yang zhanni. Oleh sebab itu, sebenarnya perbedaan antara madzhab hanafi dan jumhur ulama hanyalah khilâf lafzhi (beda kalimat tapi substansinya sama) belaka[11].

Sebagian ulama mengatakan bahwa perbedaan soal ‘samakah wajib dan fardhu’ ini punya pengaruh dalam perbedaan hukum fikih (baca: khilâf ma’nawai). Misalnya tentang tidak membaca al Fatihah dalam shalat:
- Madzhab Syafii: tidak sah shalat tanpa baca al Fatihah, karena itu fardhu
- Madzhab Hanafi: sah shalat tanpa baca al Fatihah, karena itu wajib.

Tetapi sebenarnya perbedaan pendapat soal shalat sah atau tidak sah di atas bukan karena Madzhab Syafii menyebutnya ‘fardhu’ dan Madzhab Hanafi menyebutnya ‘wajib’. Tetapi perbedaan di atas adalah karena:
- Madzhab Syafii menafsirkan firman Allah “..karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al Quran..” (QS al Muzammil: 20) dengan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca al Fatihah dalam shalat. Sehingga, tidak sah shalat orang yang tidak membaca al Fatihah dalam shalat

- Sementara Madzhab Hanafi menganggap bahwa ayat di atas berlaku umum. Sehingga menurut mereka, sah shalat orang yang tidak membaca al Fatihah.
Jadi perbedaannya berasal dari perbedaan memahami ayat, bukan soal sebutan ‘fardhu’ atau ‘wajib’[12].


Lebih Baik Jika Wajib dan Fardhu Disamakan
Meskipun perbedaan soal ‘apakah fardhu dan wajib itu sama’ hanyalah khilaf lafzhi (beda kalimat tapi substansinya sama), tetapi menyamakan wajib dengan fardhu ala jumhur ulama lebih tepat dan lebih mudah dipahami. Di antara alasannya adalah pembedaan antara fardhu dengan wajib menyebabkan banyak perintah hukumnya fardhu bagi sebagian orang, tetapi wajib saja bagi sebagian orang lain.

Misalkan ada sahabat yang mendengar langsung perintah Rasulullah untuk melakukan suatu hal. Karena mendengar langsung dari beliau, maka perintah tersebut bagi sahabat itu ‘pasti harus’ (baca: qath’i) sehingga hukumnya fardhu.

Tetapi (umpamanya) kemudian perintah tersebut diriwayatkan dengan jalur ahad, sehingga ‘tidak pasti’ (baca: zhanni) dan hukumnya turun jadi sekedar wajib untuk generasi setelah sahabat. Sehingga, perintah Rasulullah tersebut fardhu bagi sebagian orang tetapi wajib untuk sebagian yang lain. Itulah kenapa lebih baik wajib dan fardhu itu disamakan saja[13].

Meski lebih nyaman jika wajib dan fardhu kita anggap sama, tentu saja ketika membaca kitab-kitab Fikih dari Madzhab Hanafi, kita harus paham bahwa mereka membedakan fardhu dengan wajib[14].


Daftar Bacaan:
- Abu Zahrah, Muhammad, Ushûl al Fiqh, Dar al Fikr al ‘Arabi
- Al Asyqar, Muhammad Sulaiman, al Wâdlih fi Ushûl al Fiqh, Dar as Salam, Kairo, cet. II, 1425 H / 2004 M
- Al Judai’, ‘Abdullah bin Yusuf, Taysîr ‘Ilm Ushûl al Fiqh, Muassasah ar Rayyan, Beirut, cet. I, 1418 H / 1997 M
- Al Juwaini, ‘Abdulmalik bin ‘Abdullah, al Waraqât, Dar as Salam, Kairo, cet. V, 1429 H / 2008 M
- An Namlah, ‘Abdulkarim, al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, cet. I, 1420 H / 1999 M
- As Sullami, ‘Iyadh bin Nami, Ushul al Fiqh alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh, Dar at Tadmuriyyah, Riyadh, cet. I, 1426 H / 2005 M
- Az Zuhaili, Wahbah, Ushûl al Fiqh al Islâmi, Dar al Fikr, Damaskus, cet. I, 1406 H / 1986 M
- Khallaf, ‘Abdulwahhab, ‘Ilm Ushûl al Fiqh, Maktabah ad Da’wah al Islamiyyah, cet. VIII
- Salamah, Abu Islam Mushthafa bin Muhammad bin, at Ta`sîs fi Ushûl al Fiqh ‘ala Dlaw` al Kitâb wa as Sunnah, Maktabah al Haramayn
- Salqini, Ibrahim Muhammad, al Muyassar fi Ushûl al Fiqh al Islâmi, Dar al Fikr al Mu’ashir, Beirut, cet. II, 1996 M
- Zaidan, ‘Abdulkarim, al Wajîz fi Ushûl al Fiqh, Muassasah Qurthubah, cet. VI, 1396 H / 1976 M.


[1]Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an Namlah 1/147.
[2]Ushûl alladzi la Yasa’ al Faqîh Jahluh karya ‘Iyadh bin Nami as Sullami hal 30.
[3]Al Waraqât karya al Juwaini hal. 4.
[4]‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulwahhab Khallaf hal. 105.
[5]Ushûl al Fiqhal Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/46.
[6]Taysîr ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdullah bin Yusuf al Judai’ hal. 19.
[7]At Ta`sîs fi Ushûl al Fiqh ‘ala Dlaw` al Kitâb wa as Sunnah karya Abu Islam Mushthafa bin Muhammad bin Salamah hal. 32.
[8]Al Muyassar fi Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Ibrahim Salqini hal. 206.
[9]Al Muyassar fi Ushûl al Fiqh al Islâmi karya Ibrahim Salqini hal. 206
Al Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an Namlah 1/150.
[10]Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan hal. 32.
[11]Al Wajîz fi Ushûl al Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan hal. 32.
[12]Ushûl al Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah hal. 29-30.
[13]Ushûl al Fiqhal Islâmi karya Wahbah az Zuhaili 1/47-48.
[14]Taysîr ‘Ilm Ushûl al Fiqh karya ‘Abdullah bin Yusuf al Judai’ hal. 23.

2 komentar:

  1. Sebaiknya tulisan2 jenengan di bukukam dalam satu buku dan di cetak agar teman2 yg ada di majlis tarjih khususnya dan warga muhammafiyah pada umumnya bisa menambah wawasan dalam bidang ilmu fiqih maupun ilmu usul fiqih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jazakallahu khayra atas dukungan Anda. Semoga tulisan saya lebih bermanfaat ke depannya untuk teman-teman di Majelis Tarjih, dan di Muhammadiyah lebih umumnya, serta umat Islam lebih umumnya lagi...

      Untuk penulisan buku, walau sekarang masih bab-bab awal, semoga terlaksana ke depannya... :)

      Hapus