Di tulisan sebelumnya, Anda membaca bahwa wajib dibagi berdasarkan waktunya:
- Wajib Muthlaq (terikat waktu)
- Wajib Muqayyad (tidak terikat
waktu):
- Muwassa’ :
waktunya banyak
- Mudhayyaq :
waktunya sedikit (pas dengan pelaksanaannya)
- Dzu Syibhain :
waktunya banyak di satu sisi, tetapi sedikit di sisi yang lain.
Nah pada kesempatan kali ini
Anda akan membaca pembagian wajib berdasarkan takarannya.
Berdasarkan takarannya, wajib
dibagi menjadi dua yaitu:
A. Wajib Muhaddad (ada
takarannya)
B. Wajib Ghayr Muhaddad (tidak
ada takarannya).
A. Wajib Muhaddad
Wâjib Muhaddad (الْوَاجِبُ الْمُحَدَّدُ) ini secara bahasa berasal dari had (الْحَدُّ) yang artinya pemisahan. Kemudian, tâhdîd
(التَّحْدِيْدُ) artinya adalah
pemisahan antara beberapa hal dengan suatu pemisah[1],
sehingga Muhaddad (الْمُحَدَّدُ) secara bahasa maknanya adalah sesuatu yang dipisahkan (dibedakan) dari
lainnya.
Secara
istilah, Wâjib Muhaddad artinya adalah kewajiban yang ditentukan
takarannya dari syariat, dan dibedakan dengan kewajiban lainnya (dengan takaran
tersebut)[2].
Hukum
Wajib Muhaddad: Wajib Muhaddad belum gugur kewajibannya sebelum dilaksanakan dengan
sifat (rukun dan syarat yang ditetapkan oleh syariat. Wajib Muhaddad yang belum
ditunaikan (selain berdosa juga) dianggap sebagai hutang dan boleh diperkarakan
jika tidak ditunaikan, tanpa menunggu ada putusan hakim atau kesepakatan kedua
belah pihak[3].
Putusan
hakim dan kesepakatan kedua belah pihak tidak diperlukan di sini, karena fungsi putusan hakim dan kesepakatan adalah menentukan takaran yang harus dilaksanakan. Padahal Wajib Muhaddad sudah
ditentukan takarannya oleh syariat.
Misalnya
ada orang punya hutang satu juta kepada Anda, dan tidak kunjung dilunasi. Anda
boleh membawa masalah ini ke pengadilan.
Begitu
juga orang yang pernah bernazar “besok akan membangun panti asuhan”. Umpama
besoknya dia tidak melaksanakan nazarnya, berarti dia masih punya ‘hutang’
membangun panti asuhan.
Contoh Wajib
Muhaddad adalah: shalat lima waktu (seperti dalam hal jumlah rakaatnya), zakat
(seperti jumlah yang harus dibayarkan), dan membayar hutang[4].
B. Wajib Ghayr Muhaddad
Wâjib Ghayr Muhaddad (الْوَاجِبُ غَيْرُ الْمُحَدَّدِ) -secara istilah- adalah kewajiban yang yang tidak ada takarannya
dari syariat[5].
Contohnya adalah ukuran: nafkah
untuk istri, tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, dan berbuat baik
kepada orang lain. Hal-hal seperti ini tidak ada (dan memang tidak memerlukan)
takarannya dari syariat. Takarannya adalah situasi (kebutuhan), adat istiadat,
dan keputusan hakim[6].
Hukum
Wajib Ghayr Muhaddad: Wajib Ghayr Muhaddad yang belum ditunaikan (walaupun berdosa) tidak
dianggap sebagai ‘hutang’ dan tidak bisa diperkarakan, kecuali bila ada
keputusan dari hakim atau kesepakatan kedua belah pihak[7].
Keputusan
hakim atau kesepakatan berfungsi menentukan takarannya, jika takarannya sudah
ditentukan maka ia berpindah menjadi Wajib Muhaddad.
Misalnya
ketika ada kesepakatan antara sekolah dan wali murid tentang biaya iuran
pendidikan, atau ada putusan hakim. Jika selama sekian bulan wali murid mangkir
dari biaya yang diputuskan hakim atau yang disepakati, maka pihak sekolah
berhak mengambil tindakan yang diperlukan.
Bahan Bacaan:
- Al Judai’, ‘Abdullah bin
Yusuf, Taysîr ‘Ilm Ushûl al Fiqh, Muassasah ar Rayyan, Beirut, cet. I.
1418 H / 1997 M, hal. 19-22
- An Namlah, ‘Abdulkarim, al
Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al Fiqh al Muqâran, Maktabah ar Rusyd, Riyadh,
cet. I, 1420 H / 1999 M, jilid I hal.155-156
- Az Zuhaili, Wahbah, Ushûl
al Fiqh al Islâmi, Dar al Fikr, Damaskus, cet. I, 1406 H / 1986 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar