Selasa, 15 November 2016

Batasan Disebut Anak Yatim

Dalam agama Islam, kita diajarkan untuk berbuat baik kepada anak yatim. Bahkan orang yang sampai hati menghardik anak yatim dikategorikan sebagai orang yang mendustakan agama, dalam surat al-Ma’un. Di samping itu juga ada hak-hak khusus yang dimiliki anak yatim. Pertanyaannya: apakah setiap manusia yang ditinggal mati bapaknya disebut anak yatim? sampai kapan batasan yatim itu berlaku?


Di sini saya terjemahkan fatwa dari Fatâwa al-Lajnah ad-Dâimah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ` (Fatwa-fatwa Komisi Tetap Untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa, MUI-nya Saudi Arabia), cet. Dâr al-Muayyid, 14/224-225. Selamat mambaca..

Pertanyaan: Apa hukum tentang umur anak yatim secara syar’i? dengan kata lain: sampai umur berapa seorang anak yatim dianggap yatim?


Jawab: Dia dianggap yatim sampai ia balig. Balig diketahui dengan tanda-tandanya, di antaranya: 1) keluar mani ketika tidur (mimpi basah) maupun ketika sadar dengan disertai syahwat, 2) tumbuh rambut kasar di bawah perut (bulu kemaluan) baik laki-laki maupun perempuan, 3) haid bagi perempuan.

Jika tetap tidak menunjukkan tanda balig, maka dianggap balig ketika ia mencapai umur lima belas tahun menurut pendapat yang benar dari dua pendapat ulama. Ini berdasarkan hadits shahih dari Ibn ‘Umar radlialllâhu’anhuma bahwasanya dia diajukan kepada Nabi pada waktu perang Uhud ketika berusia empat belas tahun, dan beliau tidak membolehkannya. Kemudian Ibn ‘Umar diajukan lagi pada waktu perang Khandaq ketika berusia lima belas tahun, dan beliau membolehkannya[1].

Maksudnya, Ibnu ‘Umar dan anak-anak lainnya diajukan (kepada Nabi ) untuk mengetahui siapa yang yang sudah balig sehingga diijinkan ikut berperang, dan siapa yang belum balig sehingga tidak diijinkan ikut berperang. Maka ketika Nabi menolak Ibn ‘Umar ketika berumur empat belas tahun dan membolehkannya ketika dia berumur lima belas tahun, menunjukkan bahwa umur balig (bagi yang tidak / terlambat menunjukkan tanda balig) adalah lima belas tahun.

Wa billâhi at-tawfîq, wa shallallâhu ‘ala nabiyyina Muhammad wa âlihi wa shahbihi wa sallam.

Ketua:                   Syaikh ‘Abdul’azîz bin ‘Abdullâh bin Bâz
Wakil:                   Syaikh ‘Abdurrazzâq ‘Afîfi
Anggota:              Syaikh ‘Abdullâh bin Ghudyân
Anggota:              Syaikh ‘Abdullâh bin Qu’ûd.




[1] Lihat: Bukhari no. 2664 dan Muslim no. 1868.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar