Selasa, 15 November 2016

MENGENAL HUKUM SYAR’I


Mengenal hukum syar’i adalah tujuan ilmu Ushul Fikih dan ilmu Fikih. Bedanya:
- Ilmu Ushul FIkih melihatnya dari sisi (peletakan) kaidah-kaidah untuk menyimpulkannya
- ilmu Fikih melihatnya dari sisi (praktek) menyimpulkannya berdasarkan kaidah-kaidah yang diletakkan oleh Ushul Fikih[1].
Ringkasnya, Ushul Fikih meletakkan kaidah sedangkan Fikih menggunakan kaidah tersebut.

DEFINISI HUKUM

1. Definisi Hukum Secara Bahasa
Al-Hukm (الْحُكْمُ) secara bahasa artinya pencegahan, bisa juga diartikan putusan. Sebenarnya makna putusan itu juga masih dalam kerangka makna pencegahan, karena putusan (hakim misalnya) berfungsi mencegah hilangnya hak seseorang yang dizalimi[2].
Jadi, ketika dikatakan “hukum Allah dalam hal ini adalah wajib”, maksudnya adalah: putusan dari Allah[3].

2. Definisi Hukum Secara Istilah
Secara istilah umum, hukum didefinisikan sebagai: menetapkan atau menafikan suatu hal dari sesuatu. Seperti dalam kalimat “Zaid berdiri” atau “’Amru tidak berdiri”, di situ ada penetapan ‘berdiri’ untuk Zaid dan penafiannya dari ‘Amru.

3. Definisi Hukum Syar’i
Adapun hukum syar’i, definisinya menurut mayoritas ulama Ushul Fikih adalah: Khithâb (pernyataan) Allah yang terkait dengan perbuatan para mukallaf dengan suatu tuntutan, pemberian pilihan, ataupun wadl’ (penetapan). Penjelasan definisi:
- Khithâb (pernyataan): firmanNya secara langsung yaitu al-Quran, maupun secara tidak langsung yaitu sunnah, kias, ijmak, dan seluruh dalil syar’i. Khithâb Allah: berarti tidak termasuk selain khithâbNya secara langsung maupun tidak langsung
- Terkait dengan perbuatan para mukallaf: Mukallaf adalah seseorang yang sudah akil balig, tidak terpaksa, bisa memahami khithâb, dan tidak dalam keadaan terhalang (seperti haid untuk wanita yang hendak menunaikan shalat). Dengan demikian, khithâb Allah yang terkait dengan sifatNya, benda mati, hewan dan lainnya tidak disebut hukum menurut para ulama Ushul Fikih
- Tuntutan (iqtidlâ`): yang harus dilakukan (wajib) maupun hanya anjuran (sunnah), dan yang harus ditinggalkan (haram) maupun hanya anjuran (makruh)
- Pemberian pilihan (takhyîr): pembebasan antara melakukan atau meninggalkan
- Penetapan (wadl’): penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah ataupun batil, dan ‘azîmah ataupun rukhshah[4].

Adapun menurut para ulama Fikih, hukum syar’i adalah: pengaruh dari khithâb Allah yang terkait dengan perbuatan para mukallaf..dst. Jadi perbedaannya:
- Hukum syar’i menurut para ulama Ushul Fikih adalah apa yang kita sebut sebagai dalil. Misalnya firman Allah:
وَأَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat”, ini sudah menjadi hukum syar’i menurut mereka
- Hukum syar’i menurut para ulama Fikih adalah pengaruh dalil dalil tersebut. Jadi, wajibnya shalat dan zakat berdasarkan ayat di atas adalah hukum syar’i menurut para ulama Fikih[5].

Perbedaan antara ulama Ushul Fikih dengan Ulama Fikih dalam mendefinisikan hukum adalah khilâf lafzhi, yaitu perbedaan pendapat yang tidak mempengaruhi apapun[6].
Namun demikian, -sependek yang saya amati- tidak jarang para penulis buku Ushul Fikih menyebut hukum wajib dan lainnya dengan definisi model ahli Fikih. Misalnya ketika bicara definisi hukum wajib, mereka mengatakan “sesuatu yang mendapat pahala bila dikerjakan dan berdosa bila ditinggalkan”, bukannya “khithâb Allah yang terkait dengan perbuatan mukallaf dengan tuntutan yang harus dikerjakan”. Jadi kita tidak perlu ambil pusing soal perbedaan ulama Fikih dengan ulama Ushul Fikih dalam mendefinisikan hukum. Wallahu a’lam.

Setelah ini, bila saya sebut hukum maka maksudnya adalah hukum syar’i, sebagaimana kebiasaan para ulama ketika menyebut hukum maka biasanya yang dimaksud adalah hukum syar’i.


PEMBAGIAN HUKUM
Ada dua macam hukum, yaitu:
1. Hukum Taklîfi (pembebanan): yaitu hukum yang menuntut untuk mengerjakan sesuatu (wajib dan sunnah), meninggalkan sesuatu (haram dan makruh), atau membebaskan antara mengerjakan atau meninggalkannya (mubah).
Contoh hukum taklîfi: firman Allah “Tegakkanlah shalat”  yang membebankan shalat pada kita
2. Hukum Wadl’i (peletakkan): yaitu hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah ataupun batal, dan ‘azîmah ataupun rukhshah.
Contoh hukum wadl’i: hadits “Tidak ada warisan untuk pembunuh” (HR Malik, Ahmad, Ibnu Majah) [7].

Sebagian ulama ada yang membagi hukum menjadi tiga, yaitu dengan menambahkan hukum takhyîri (mubah). Alasannya karena memang mubah tidak termasuk taklîf (pembebanan). Tetapi mayoritas ulama Ushul Fikih menggeneralisir dengan memasukkan mubah ke dalam hukum taklîfi[8].

Perbedaan antara hukum taklîfi dengan hukum wadl’i adalah:
1. Hukum taklîfi berkonotasi: lakukan, tinggalkan, atau terserah. Sedangkan hukum wadl’i berkonotasi: ini kedudukannya adalah syarat / sebab / batil dan seterusnya
2. Hukum taklîfi selalu berkaitan dengan hal-hal yang mampu dilakukan / ditinggalkan oleh mukallaf. Sedangkan hukum wadl’i tidak selalu terkait dengan hal-hal yang mampu dilakukan atau ditinggalkan seorang mukallaf:
- Hadits “Tidak ada warisan untuk pembunuh” (HR Malik, Ahmad, dan Ibnu Majah”, pembunuhan sebagai penghalang warisan termasuk hal-hal yang mampu dilakukan mukallaf
- Tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat dhuhur, tidak termasuk yang mampu dilakukan atau ditinggalkan mukallaf[9].


Daftar Pustaka:
- Zaidan, ‘Abdulkarim, al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, Muassasah Qurthubah, cet. VI, 1396 H / 1976 M
- As-Sullami, ‘Iyadh bin Nami, Ushûl al-Fiqh al-ladzi la Yasa’ al-Faqîh Jahluh, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh, cet. I, 1426 H / 2005 M
- An-Namlah, ‘Abdulkarim bin ‘Ali, al-Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muqâran, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, cet. I, 1420 H / 1999 M
- Al-Jizani, Muhammad, Ma’alim Ushûl al-Fiqh ‘ind Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Dari Ibn al-Jawzi, Riyadh, cet I, 1416 H / 1996 M.



[1] ‘Abdulkarim Zaidan, al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, Muassasah Qurthubah, cet. VI, 1396 H / 1976 M, hal. 23.
[2] ‘Iyadh bin Nami as-Sullami, Ushûl al-Fiqh al-ladzi la Yasa’ al-Faqîh Jahluh, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh, cet. I, 1426 H / 2005 M, hal. 24.
[3] ‘Abdulkarim bin ‘Ali an-Namlah, al-Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muqâran, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, cet. I, 1420 H / 1999 M, 1/125.
[4] Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan, hal. 23-24,  al-Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muqâran karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an-Namlah 1/125-129, dan:
Muhammad al-Jizani, Ma’alim Ushûl al-Fiqh ‘ind Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Dari Ibn al-Jawzi, Riyadh, cet I, 1416 H / 1996 M, hal. 292-293
Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Dar al-Fikr, Damaskus, cet. I, 1406 H / 1986 M, 1/37-41.
[5] ­Al-Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muqâran karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an-Namlah 1/130-131.
[6] Al-Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muqâran karya ‘Abdulkarim bin ‘Ali an-Namlah 1/131.
[7] Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan, hal. 26, Ma’alim Ushûl al-Fiqh ‘ind Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah karya Muhammad al-Jizani hal. 293, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi 1/43.
[8] Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh karya ‘Abdulkarim Zaidan, hal. 26.
[9] Ushûl al-Fiqh al-Islâmi karya Wahbah az-Zuhaili 1/43-44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar