Heraklius adalah kaisar Romawi Byzantium yang beragama Nasrani,
nama lengkapnya adalah Flavius Heraklius Augustus. Awalnya ia membantu sang
ayah menjadi wakil Romawi di Tunisia, sebelum kekalahan Romawi dari Persia
dalam sebuah pertempuran yang diceritakan dalam awal surat ar-Rum. Sang ayah
mengutus Heraklius untuk menggempur balik Persia, dan dia berhasil mengalahkan
Persia. Heraklius pun jadi kaisar Romawi Byzantium, sekaligus pahlawan agama
Nasrani dan bangsa Romawi.
Sebagai wujud syukur atas prestasi yang diraih, Heraklius
berjalan kaki menuju al-Quds (Jerussalem) untuk menunaikan haji versi agamanya.
Sesampainya di al-Quds, dia bertemu dengan Dihyah al-Kalbi yang diutus
Rasulullah ﷺ menyampaikan sebuah surat untuknya. Berikut isi surat tersebut:
“Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Muhammad bin ‘Abdullah
untuk Heraklius, pembesar Romawi.
Keselamatan atas orang yang
mengikuti petunjuk.
Sesungguhnya saya menyeru
Anda dengan seruan Islam[1]. Masuk
Islam-lah kamu pasti akan selamat dan Allah akan memberi Anda pahala dua kali
lipat. Jika Anda berpaling, maka Anda akan menanggung dosa para Arisiyyi.
{Katakanlah: ‘Hai ahli
Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah’. Jika mereka
berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah) [2]}”.
Untuk memastikan kebenaran isi surat dari padang pasir
itu, sang kaisar memerintahkan anak buahnya mendatangkan orang Arab untuk
ditanya-tanya tentang Muhammad ﷺ yang mengaku nabi ini. Kebetulan saat itu yang bisa ditemui
adalah Abu Sufyan dan rombongannya yang sedang berdagang di Syam. Saat itu Abu
Sufyan belum masuk Islam. Heraklius bertanya: “Siapa yang nasabnya (silsilah
keturunan) paling dekat dengan orang yang mengaku nabi ini?” Abu Sufyan
menjawab: “Sayalah yang paling dekat secara nasab dengannya?”.
Kemudian Heraklius menyuruh agar Abu Sufyan didekatkan
dengannya, dan agar di belakangnya rombongannya yang akan memberitahu andai dia
berbohong. Lalu terjadilah dialog berikut…
Heraklius: Bagaimana
nasabnya di antara kalian?
Abu Sufyan: Dia
memiliki nasab yang mulia di antara kami
Heraklius: Adakah
orang yang mengatakan hal itu (mengaku nabi) sebelumnya?
Abu Sufyan: Tidak
ada yang mengklaim kenabian sepanjang sejarah bangsa Arab
Heraklius: Apakah
di antara kakeknya ada yang jadi raja?
Abu Sufyan: Tidak
ada
Heraklius: Yang
mengikutinya orang-orang mulia ataukah kaum yang lemah?
Abu Sufyan: Orang-orang
yang lemah
Heraklius: Jumlah
pengikutnya bertambah atau berkurang?
Abu Sufyan: Bertambah
Heraklius: Adakah
di antara mereka yang murtad karena kecewa pada agamanya itu?
Abu Sufyan: Tidak
ada satu pun mereka yang murtad
Heraklius: Pernahkah
kalian menuduhnya berdusta sebelum dia mengatakan apa yang dia katakana (mengaku
nabi)?
Abu Sufyan: Tidak
pernah
Heraklius: Pernahkah
dia mengingkari janji?
Abu Sufyan: Tidak
pernah
Lalu Abu Sufyan melanjutkan: Kami sedang dalam gencatan
senjata (perdamaian Hudaibiyah), dan kami tidak tahu apa yang akan dia perbuat[3]
Heraklius: Apakah
kalian memeranginya?
Abu Sufyan: Betul
Heraklius: Bagaimana
peperangan kalian melawan dia?
Abu Sufyan: Kemenangan
silih berganti antara kami (maksud Abu Sufyan: perang Badar dan Uhud)
Heraklius: Apa
yang dia perintahkan kepada kalian?
Abu Sufyan: Dia
mengatakan: beribadahlah kepada Allah saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan
suatu apapun, serta tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. Dia
juga memerintahkan kami untuk mengerjakan shalat, bersadaqah, meninggalkan
hal-hal yang haram maupun yang tidak patut, dan menyambung silaturahmi.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Heraklius dan
pernyataannya selanjutnya menunjukkan bahwa Heraklius mengetahui sisa-sisa
Injil yang belum dirubah tentang nabi akhir zaman.
Kemudian Heraklius mengatakan:
- Aku bertanya padamu tentang nasabnya, kamu menjawab
bahwa dia berasal dari nasab yang mulia. Begitulah para utusan, mereka berasal
dari nasab yang mulia dari kaumnya
- Aku bertanya padamu adakah sebelumnya yang mengatakan
hal yang sama (mengklaim menjadi nabi), kamu menjawab tidak ada. Kukatakan: jika
ternyata ada yang mengatakan hal itu sebelumnya, maka dia hanya meniru orang
sebelumnya
- Aku bertanya padamu apakah di antara kakeknya ada yang
menjadi raja, dan kamu menjawab tidak ada. Kukatakan: jika ada kakeknya yang
jadi raja, artinya dia menginginkan kekuasaan kakeknya
- Aku bertanya padamu apakah kalian pernah menuduhnya
berdusta, dan kamu jawab tidak pernah. Saya mengetahui bahwa seorang nabi tidak
akan berbohong kepada manusia dan berdusta atas nama Allah
- Aku bertanya padamu apakah pengikutnya orang-orang
mulia ataukah orang-orang lemah, dan kamu jawab orang-orang lemah yang
mengikutinya. Memang mereka itulah pengikut para utusan
- Aku bertanya padamu jumlah mereka bertambah atau berkurang,
dan kamu jawab bertambah. Memang begitulah keadaan iman hingga dia sempurna
- Aku bertanya padamu juga adakah pengikutnya yang murtad
karena kecewa dengan agamanya, dan kamu jawab tidak ada. Begitulah iman jika
sudah masuk ke relung hati
- Aku bertanya padamu apakah dia ingkar janji, dan kamu
jawab tidak. Begitulah para utusan tidak ingkar janji
- Aku bertanya padamu apa yang dia perintahkan. Kamu
menjawab bahwa dia memerintahkan agar beribadah kepada Allah saja dan
tinggalkan peribadatan berhala, serta mengerjakan shalat, bersadaqah, dan
meninggalkan hal-hal yang haram maupun yang tidak patut.
- Dan jika yang kamu katakan itu benar, maka dia akan
memiliki apa yang di bawah kakiku ini (wilayah kekuasaannya, yaitu negeri
Syam).
Kemudian Heraklius mengatakan kepada Dihyah al-Kalbi:
“Celakalah kamu, Demi Allah aku benar-benar mengetahui kalau kawanmu itu adalah
nabi yang diutus. Dialah yang kami tunggu-tunggu, dan kami menemukan kabar tentangnya dalam kitab suci kami. Hanya
saja aku takut orang-orang Romawi akan mencelakaiku, seandainya bukan karena
itu aku pasti akan mengikutinya. Pergilah kepada uskup Shaghathir dan ceritakan
pada mereka tentang kawan kalian itu. Demi Allah dia lebih agung di hadapan
bangsa Romawi ketimbang aku, dan lebih didengar perkataannya ketimbang aku. Lihatlah
apa yang dikatakannya (Shaghathir)”.
Bagaimana reaksi uskup Shaghathir kemudian? dan apa yang
dilakukan orang-orang Romawi terhadapnya? Tunggu tulisan berikutnya ya…
Bahan Bacaan:
- Miah min ‘Uzhamâ` Ummah al-Islâm Ghayyaru Majra
at-Târîkh karya Jihad at-Turbani, Dar at-Taqwa, cet. X, 2015, hal. 317-341.
[1]
Maksudnya: menyerukan agar bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah.
[2]
Q.S. Ali ‘Imran 64.
[3]
Maksudnya adalah apakah Muhammad akan menepati perjanjian gencatan senjata atau
tidak. Abu Sufyan pun mengakui bahwa dia tidak mampu mengatakan sesuatu yang
mengurangi kehormatan beliau selain kalimat itu (kalimat yang seolah meragukan
akankah Rasulullah ﷺ
akan menepati kesepakatan perdamaian Hudaibiyyah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar