Selasa, 15 November 2016

HERAKLIUS DAN ABU SUFYAN


Heraklius adalah kaisar Romawi Byzantium yang beragama Nasrani, nama lengkapnya adalah Flavius Heraklius Augustus. Awalnya ia membantu sang ayah menjadi wakil Romawi di Tunisia, sebelum kekalahan Romawi dari Persia dalam sebuah pertempuran yang diceritakan dalam awal surat ar-Rum. Sang ayah mengutus Heraklius untuk menggempur balik Persia, dan dia berhasil mengalahkan Persia. Heraklius pun jadi kaisar Romawi Byzantium, sekaligus pahlawan agama Nasrani dan bangsa Romawi.

Sebagai wujud syukur atas prestasi yang diraih, Heraklius berjalan kaki menuju al-Quds (Jerussalem) untuk menunaikan haji versi agamanya. Sesampainya di al-Quds, dia bertemu dengan Dihyah al-Kalbi yang diutus Rasulullah menyampaikan sebuah surat untuknya. Berikut isi surat tersebut:
“Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Muhammad bin ‘Abdullah untuk Heraklius, pembesar Romawi.
Keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk.
Sesungguhnya saya menyeru Anda dengan seruan Islam[1]. Masuk Islam-lah kamu pasti akan selamat dan Allah akan memberi Anda pahala dua kali lipat. Jika Anda berpaling, maka Anda akan menanggung dosa para Arisiyyi.
{Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah’. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah) [2]}”.

Untuk memastikan kebenaran isi surat dari padang pasir itu, sang kaisar memerintahkan anak buahnya mendatangkan orang Arab untuk ditanya-tanya tentang Muhammad yang mengaku nabi ini. Kebetulan saat itu yang bisa ditemui adalah Abu Sufyan dan rombongannya yang sedang berdagang di Syam. Saat itu Abu Sufyan belum masuk Islam. Heraklius bertanya: “Siapa yang nasabnya (silsilah keturunan) paling dekat dengan orang yang mengaku nabi ini?” Abu Sufyan menjawab: “Sayalah yang paling dekat secara nasab dengannya?”.

Kemudian Heraklius menyuruh agar Abu Sufyan didekatkan dengannya, dan agar di belakangnya rombongannya yang akan memberitahu andai dia berbohong. Lalu terjadilah dialog berikut…

Heraklius:           Bagaimana nasabnya di antara kalian?
Abu Sufyan:       Dia memiliki nasab yang mulia di antara kami

Heraklius:           Adakah orang yang mengatakan hal itu (mengaku nabi) sebelumnya?
Abu Sufyan:       Tidak ada yang mengklaim kenabian sepanjang sejarah bangsa Arab

Heraklius:           Apakah di antara kakeknya ada yang jadi raja?
Abu Sufyan:       Tidak ada

Heraklius:           Yang mengikutinya orang-orang mulia ataukah kaum yang lemah?
Abu Sufyan:       Orang-orang yang lemah

Heraklius:           Jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang?
Abu Sufyan:       Bertambah

Heraklius:           Adakah di antara mereka yang murtad karena kecewa pada agamanya itu?
Abu Sufyan:       Tidak ada satu pun mereka yang murtad

Heraklius:           Pernahkah kalian menuduhnya berdusta sebelum dia mengatakan apa yang dia katakana (mengaku nabi)?
Abu Sufyan:       Tidak pernah

Heraklius:           Pernahkah dia mengingkari janji?
Abu Sufyan:       Tidak pernah
Lalu Abu Sufyan melanjutkan: Kami sedang dalam gencatan senjata (perdamaian Hudaibiyah), dan kami tidak tahu apa yang akan dia perbuat[3]

Heraklius:           Apakah kalian memeranginya?
Abu Sufyan:       Betul

Heraklius:           Bagaimana peperangan kalian melawan dia?
Abu Sufyan:       Kemenangan silih berganti antara kami (maksud Abu Sufyan: perang Badar dan Uhud)

Heraklius:           Apa yang dia perintahkan kepada kalian?
Abu Sufyan:       Dia mengatakan: beribadahlah kepada Allah saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, serta tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. Dia juga memerintahkan kami untuk mengerjakan shalat, bersadaqah, meninggalkan hal-hal yang haram maupun yang tidak patut, dan menyambung silaturahmi.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Heraklius dan pernyataannya selanjutnya menunjukkan bahwa Heraklius mengetahui sisa-sisa Injil yang belum dirubah tentang nabi akhir zaman.

Kemudian Heraklius mengatakan:
- Aku bertanya padamu tentang nasabnya, kamu menjawab bahwa dia berasal dari nasab yang mulia. Begitulah para utusan, mereka berasal dari nasab yang mulia dari kaumnya
- Aku bertanya padamu adakah sebelumnya yang mengatakan hal yang sama (mengklaim menjadi nabi), kamu menjawab tidak ada. Kukatakan: jika ternyata ada yang mengatakan hal itu sebelumnya, maka dia hanya meniru orang sebelumnya
- Aku bertanya padamu apakah di antara kakeknya ada yang menjadi raja, dan kamu menjawab tidak ada. Kukatakan: jika ada kakeknya yang jadi raja, artinya dia menginginkan kekuasaan kakeknya
- Aku bertanya padamu apakah kalian pernah menuduhnya berdusta, dan kamu jawab tidak pernah. Saya mengetahui bahwa seorang nabi tidak akan berbohong kepada manusia dan berdusta atas nama Allah
- Aku bertanya padamu apakah pengikutnya orang-orang mulia ataukah orang-orang lemah, dan kamu jawab orang-orang lemah yang mengikutinya. Memang mereka itulah pengikut para utusan
- Aku bertanya padamu jumlah mereka bertambah atau berkurang, dan kamu jawab bertambah. Memang begitulah keadaan iman hingga dia sempurna
- Aku bertanya padamu juga adakah pengikutnya yang murtad karena kecewa dengan agamanya, dan kamu jawab tidak ada. Begitulah iman jika sudah masuk ke relung hati
- Aku bertanya padamu apakah dia ingkar janji, dan kamu jawab tidak. Begitulah para utusan tidak ingkar janji
- Aku bertanya padamu apa yang dia perintahkan. Kamu menjawab bahwa dia memerintahkan agar beribadah kepada Allah saja dan tinggalkan peribadatan berhala, serta mengerjakan shalat, bersadaqah, dan meninggalkan hal-hal yang haram maupun yang tidak patut.
- Dan jika yang kamu katakan itu benar, maka dia akan memiliki apa yang di bawah kakiku ini (wilayah kekuasaannya, yaitu negeri Syam).

Kemudian Heraklius mengatakan kepada Dihyah al-Kalbi: “Celakalah kamu, Demi Allah aku benar-benar mengetahui kalau kawanmu itu adalah nabi yang diutus. Dialah yang kami tunggu-tunggu, dan kami menemukan  kabar tentangnya dalam kitab suci kami. Hanya saja aku takut orang-orang Romawi akan mencelakaiku, seandainya bukan karena itu aku pasti akan mengikutinya. Pergilah kepada uskup Shaghathir dan ceritakan pada mereka tentang kawan kalian itu. Demi Allah dia lebih agung di hadapan bangsa Romawi ketimbang aku, dan lebih didengar perkataannya ketimbang aku. Lihatlah apa yang dikatakannya (Shaghathir)”.

Bagaimana reaksi uskup Shaghathir kemudian? dan apa yang dilakukan orang-orang Romawi terhadapnya? Tunggu tulisan berikutnya ya…


Bahan Bacaan:
- Miah min ‘Uzhamâ` Ummah al-Islâm Ghayyaru Majra at-Târîkh karya Jihad at-Turbani, Dar at-Taqwa, cet. X, 2015, hal. 317-341.




[1] Maksudnya: menyerukan agar bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
[2] Q.S. Ali ‘Imran 64.
[3] Maksudnya adalah apakah Muhammad akan menepati perjanjian gencatan senjata atau tidak. Abu Sufyan pun mengakui bahwa dia tidak mampu mengatakan sesuatu yang mengurangi kehormatan beliau selain kalimat itu (kalimat yang seolah meragukan akankah Rasulullah akan menepati kesepakatan perdamaian Hudaibiyyah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar